hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Saatnya Supplier Naik Kelas

 

 

Donni Oktavian Syah
Donni Oktavian Syah

 

Steve Jobs, pendiri Apple bukan hanya inovator tetapi sang pendobrak. Ia menjadikan posisi CPO (Chief Product Officer) bukan lagi jabatan kelas dua tetapi prestisius. CPO Apple mengubah perlakuan terhadap supplier atau pemasok dari sekadar menekan harga menjadi pencetak value.

Keberhasilan Apple-nya Steve Jobs seperti poduk iPhone menunjukkan kedigdayaan perlakuan terhadap supplier. Dengan designing produk digagas di kantor pusat di Cupertino, California. Assembling komponen iPhone dikerjakan di Foxconn Factory, sebuah kota di Zhengzou, China dan dengan komponen dasar (raw material) dan komponen lain dari 43 negara lain dari 6 benua. Hebatnya lagi di tahun 2018 saja, Apple mengirim 217 juta iPhone ke seluruh dunia.

Belum pernah ada sebuah produk yang dibuat dari komponen dari 43 negara lain, tentunya hal itu tidak akan terjadi kalau hal tersebut dikelola apa adanya hanya dengan sekadar dengan ”menekan cost”.

Contoh iPhone dan Apple di atas hanyalah merupakan salah satu cerita betapa urusan dengan supplier itu adalah harga yang strategis bukan sekadar meminta para supplier memangkas harga.

Inspirasi Jobs tersebut harusnya menjadi pelajaran bagi  koprorat terutama di sektor manufakturing. Supplier relations atau purchasing departemen—atau sejenisnya yang kerap berhubungan dengan pemasok atau pihak ketiga kini bukanlah jabatan pinggiran atau ”kurang seksi”.

Era KPI (key performance indikator) atau tupoksi pekerjaan yang berkutat mencari harga murah dan miring dengan cara ”menekan” supplier agar bisa mendapatkan PO (Purchased Order) saatnya diakhiri. Sayangnya fenomena menekan supplier ini masih banyak terjadi di industri di berbagai negara.

Merujuk hasil research yang dilakukan oleh Harvard Business Review (HBR) oleh Michael Porter dan Nitin Nohria, amat jarang seorang direktur utama atau CEO menghabiskan prosentase waktunya dengan para supplier-nya, berdasar penelitian hanya 1% saja. Lebih jauh seorang CEO jarang menyebut hasil kerja CPO yang menggawangi hal ini dalam rapat penting BOD (Board of Director). Kalau toh disebut, amatlah kecil, perhatian lebih ke pilar departemen lain yang dianggap lebih seksi untuk dibincangkan lebih detail dan lama.

 

Beberapa peneliti dari perusahaan konsultan Manajemen ternama Boston Consulting Group (BCG) yang dikomandani Christian Schuh mencoba membedah dan meneliti hal ini. Dalam buku yang merupakan hasil penelitian bertajuk ”Profit from The Source”, Schuh meng-high light betapa procurement (pengadaan barang via supplier) merupakan hal strategis yang perlu diperhatikan dan digarap secara serius. Dengan memaparkan hasil riset yang mendalam di beberapa perusahaan ternama, Schuh dan koleganya menawarkan beberapa tips strategik bagaimana para pelaku dan pemimpin bisnis dalam mengelola hal ini.

Pilar pertama yang disarankan adalah memposisikan procurement sebagai hal utama dalam perusahaan, bukan ”side job” penekan dan melakukan negosiasi dengan supplier. Pilar yang ditekankan terkesan terpaku pada ”konsep” semata, tapi di tataran strategik dan implementasi ada banyak yang perlu dilakukan. Karena mendudukan menjadi hal penting, para pelaku dan pimpinan perusahaan tidak boleh menyisihkan waktu minimal untuk procurement tetapi menyisihkan waktu yang extra, jangan hanya departemen procurement saja yang bekerja. Bahkan dalam bukunya, Schuh dalam key tactic-nya menyarankan perlunya pimpinan menggubah mind-set pendekatan dengan para CPO dan banyak berdiskusi dengannya, sehingga ada banyak insight yang diambil dengan berdiskusi dengan para supplier-nya. Bahkan, penulis menyarankan frekuensi pertemuan dengan komandan CPO (Chief Product Officer) lebih sering, kalau masih berkantor secara offline, kantor CPO adalah dekat dan mudah diakses oleh pimpinan perusahaan. Lebih dari itu, pimpinan perlu memberikan ”mandat baru” ke CPO untuk tidak sekadar fokus pada ”cost reduction” tapi mengusung misi untuk ”profitable growth” juga.

Pilar kedua, ”perlakukan supplier perusahaan sebagai seorang kawan” bukan lawan seperti di bidak catur. Bukan hal yang aneh, ketika meeting negosisasi harga antara pembeli dan penjual tentang mencapai titik temu tentang harga yang disepakati, keberhasilan ”menekan” harga dianggap sebagai tupoksi tujuan satu satunya di ruang negosiasi. Jadi kesan supplier sebagai ”lawan” di bidak catur kompetisi menjadi lebih terasa ketimbang menjadi seorang ”kawan”. Agar pendekatan lebih personal, seperti yang direkomendasi di pilar pertama, pimpinan perusahaan harus menginisasi pertemuan dan berhubungan baik dengan pimpinan puncak supplier-nya sehingga kedua komunitas perusahaan sama sama mengetahui kalau antar pimpinan sudah ada dalam kondisi saling memahami, lebih menjadi ”kawan” ketimbang ”lawan”. Di perusahaan otomotif Jepang misalnya, adalah yang lumrah terkadang beberapa engineer dari perusahaan (pembeli) berkantor di kantor supplier-nya (perusahaan tier-1 maupun tier-2). Disamping untuk memastikan komponen barang yang dibuat sesuai dengan permintaan, dengan berkantor di kantor supplier bukan karena ”kepo” dalaman perusahaan supplier tetapi lebih jauh untuk membangun hubungan saling memahami antara supplier-buyer.

Pilar ketiga adalah mengubah ekosistem perusahaan agar berubah. Ada beberapa turunan starteginya di pilar ini. Diantaranya adalah kepiawaian dalam menghadirkan penghematan yang merupakan inti di departemen procurement. Oleh karenanya CPO sebagai komando dalam produksi seyogyanya diberikan mandat tanggung jawab utama untuk men-generate pengehamatan dari proses ideation (ide produk awal) sampai post-production (produk akhir). Dari step ini dari awal sudah dibangun sebuah hubungan saling memahami antar supplier-buyer terbangun dari awal, karena yang ”diharuskan” memotong cost tidak hanya supplier semata, tetapi buyer juga harus piawai menghadirkan penghematan (savings) dari awal produk dibuat (ideation). Misalnya di kasus hubungan supplier buyer di industri otomotif di Jepang, perusahaan otomotif suppliers biasanya dibangun hubungan lama berbasis performance record jangka panjang ketimbang sekadar melewati proses kompetitif tender yang rigid dan kaku, yang cenderung hanya tawaran harga serendah rendahnya. Karena dibangun dari pemahaman ”menggubah ekosistem perusahaan agar berubah”, ada perbincangan mengenai ”fair distribution of profit” yang sehat dan adil antara supplier dan buyer ketika mereka memutuskan bekerja sama. Sehingga hubungan lebih long lasting, supplier tidak semata ditekan untuk menghadirkan harga yang semurah murahnya namun membuat mereka ”susah hidup” serta pas pasan, tetapi pembeli juga mulai memikirkan savings dengan sehingga kerjasamanya kedepan langgeng dan bertambah kuat.

Semoga sedikit tips bisa memberikan angin segar bagi pelaku bisnis di Indonesia khususnya yang berkutat industri berbasis manufaktur yang frekuensi hubungan antara buyer-supplier cukup sering.

Donny Oktavian Syah

Pemerhati bisnis dan manajemen, pengajar program sarjana dan paska sarjana, Ilmu Administrasi Niaga, FIA-UI, Depok.

pasang iklan di sini
octa forex broker