Bulan ini, 80 Tahun sudah Indonesia Merdeka. 20 Tahun menuju era yang digadang-gadang sebagai era Indonesia Emas 2045. Pertanyaan pentingnya, seberapa jauh Indonesia mampu membangun kekuatan ekonominya dalam menghadapi persaingan global? Apa saja pekerjaan rumah yang harus dibenahi?
Selain menandai usia negara, perayaan 80 tahun kemerdekaan juga menjadi momentum refleksi terhadap pencapaian serta tantangan yang dihadapi. Upaya untuk ‘membangun jiwa merdeka’ menjadi salah satu fokus utama dalam perjalanan ini. Setiap individu diharapkan memiliki kemandirian berpikir, kebebasan berekspresi, dan tanggung jawab sosial yang tinggi untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya lokal harus terus didorong sebagai bagian integral dari pembangunan jiwa-jiwa merdeka,” ujar Bambang Kusumanto, Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta.
Ulang tahun bangsa bukan sekadar perayaan, melainkan panggilan sejarah untuk menata ulang arah pembangunan agar lebih berdiri di atas kekuatan sendiri. Dalam pemantauan R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, selama lebih dari lima dekade, dunia berada dalam hegemoni Amerika Serikat, penguasa dolar, pengendali energi, dan pengatur lalu lintas perdagangan global.
Belakangan, pertarungan Amerika dan Tiongkok bukan sekadar persaingan ekonomi, tapi benturan dua sistem besar. “Indonesia harus memilih: menjadi penonton, atau ikut menentukan arah masa depan dunia,” kata Haidar Alwi. Khususnya saat Amerika yang coba menghidupkan kembali ekonomi militernya melalui ketegangan geopolitik. Di antaranya serangan terhadap Iran. Diharapkan bakal mendorong permintaan senjata. Yang muncul bukan legitimasi, tapi kecaman dari dunia internasional bahkan dalam negeri.
Ketika produk Amerika tak bisa bersaing dengan barang-barang murah dari Tiongkok, maka yang paling logis adalah membuat dolar lebih murah. “Dolar bisa turun ke Rp14.000 bahkan Rp13.000. Ini bukan karena rupiah menguat, tapi karena Amerika sedang membalik strategi mereka,” ujarnya. Sejatinya, dolar mulai kehilangan daya tekan sebagai alat geopolitik, sehingga negara-negara BRICS memperkuat perdagangan non-dolar.
Bagi Indonesia, pelemahan dolar memberi dampak ganda: produk AS akan lebih murah dan pasar lokal bisa terganggu, jika tak ada perlindungan yang bijak dan adil. Namun, jika dikelola dengan cerdas, momentum ini juga bisa membuka ruang fiskal dan memperkuat sektor produksi dalam negeri.
Negara tidak boleh hanya jadi kasir untuk kekuatan asing. “Kita harus mulai jadi perancang masa depan kita sendiri,” ujarnya. Nasionalisme ekonomi bukan hanya retorika. Ia hadir saat negara mendanai riset anak negeri, saat rakyat membeli produk lokal dengan bangga, dan saat sistem ekonomi dibangun atas dasar keadilan dan keberanian. “Jika arah ini digenggam bersama baru, berkat karena kekuatan, kerja keras, dan kebijakan yang berpihak pada bangsa, Indonesia tidak hanya akan selamat dari gejolak global, tetapi akan menjadi poros ekonomi sendiri,” ujar Haidar.
Salah satu sumber kekuatan ekonomi yang harus terus didorong penguatannya untuk menjadi pilar ekonomi bangsa tentulah dunia usaha. Semakin kokoh daya saing dunia usaha, semakin banyak penyerapan tenaga kerja, semakin besar PDB negara, semakin besar pula devisa yang bisa diterima negara.
Maka, menjadi pertanyaan yang relevan, ketika memperingati hari kemerdekaan yang ke-80, seberapa tangguh Perusahaan Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri ataupun bersaing di Tingkat global?(Zian)