Gasing. Itulah nama alat atau mainan permainan ini. Dia sebuah benda yang bisa berputar pada poros sebagai satu titik keseimbangan. Untuk itu, gasing diputar cepat terlebih dahulu dengan bantuan seutas tali. Puak Melayu sangat mengenal permainan ini. Melayu yang dimaksud di sini adalah dari ujung Sumatera hingga ujung timur Indonesia. Penamaannya beragam.
Di Jawa Barat dan Jakarta, misalnya, sebutannya panggal atau panggalan. Di Lampung disebut pukang, di Maluku disebut apiong.Seperti nasib banyak permainan tradisional, gasing juga ikut tersisihkan oleh pragmatisme berfantasi yang ditawarkan gadget. Bagusnya, permainan ini tak benar-benar punah. Dia masih berdenyut di etnis tertentu. Di sana sini, muncul komunitas yang berupaya memulihkan popularitas gasing.
Mulanya mungkin dimanfaatkan sebagai pengisi waktu senggang, sekadar hiburan. Dalam perkembangannya, permainan gasing ternyata dapat jadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan membina sikap mental serta keterampilan tertentu. Oleh karena itu, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan permainan gasing merupakan bagian penting bagi penguatan jati diri atau identitas bangsa.
Permainan tradisional ini sangat populer di masa lalu. Lama kelamaan, modernisasi dan alternatif yang disajikan gadget menggerusnya perlahan dan pasti. Gasing pun terpinggirkan, seperti juga aneka permainan tradisional lainnya. Kecuali di beberapa daerah, gasing makin jarang dimainkan. Ditarik filosofinya ke dalam kehidupan, gasing mengisyaratkan stabilitas yang dinamis. Bahwa agar bisa tetap seimbang, manusia harus terus bergerak dalam hidupnya.
Untunglah masih ada komunitas yang peduli. Mereka menjaga eksistensi gasing tidak punah. Mereka menghimpun para pecinta dan orang-orang yang tertarik dengan permainan ini. Komunitas Gasing Indonesia berdiri 15 Desember 2007. Anggota masyarakat yang peduli terhadap permainan gasing. Baik itu pegawai pemerintahan, seniman, budayawan, artis, pengacara, wartawan, aktivis, event organiser, maupun perajin dan penjual gasing.
Komunitas ini terbentuk dirintis Endi Aras. Berawal tahun 2005, saat ia menjadi Event Organizer (EO) festival gasing nasional yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut Endi Aras, Ketua Komunitas Gasing Indonesia/KGI, “Budaya main gasing di Tanah Air sangat kuat.
Di semua provinsi terdapat gasing dengan bentuk, warna, dan ciri khasnya masing-masing,” ujarnya. Anggotanya bermacam-macam, mulai dari EO, penulis, wartawan, pengacara, dan lainnya. Markasnya di Kompleks Taman Serua Jl. Manggis Blok A2 No.3 Bojongsari, Sawangan, DepokWeb site : Fawwaz/Dennis 2015.
Kegiatan komunitas ini banyak: pameran ke berbagai tempat, seperti mal, gedung pameran, sekolah/kampus, dan ke kantong-kantong kesenian dan komunitas lain; workshop untuk anak-anak dan siapa pun yang berminat mengenal dan peduli terhadap gasing tradisional; pertemuan membahas gasing tradisional; dan mendokumentasikan permainan gasing tradisional dari seluruh Indonesia.
Singkat kata, komunitas ini berkomitmen menjaga, mengembangkan dan memasyarakatkan permainan gasing tradisional kepada masyarakat luas, terutama di kalangan anak-anak dan pelajar/generasi muda. Di Riau, tradisi ini relatif hidup.
Kunjungan komunitas pecinta gasing Gentung Club (GC) dari Kab Bengkalis mengunjungi Andela Gasing Club (AGC) di Kab Siak (28/2) megisyaratkan hal bagus. Gelanggang pertunjukan pun dengan segera diramaikan pengunjung. Lomba-lomba gasing antarkabupaten se-Riau, dengan gasing piring berukuran 7,5 inchi, bukannya pemandangan langka.
Banyan Versi Asal Muasal
Meski diakui sebagai salah satu permainan tradisional Nusantara, sejarah persebaran gasing belum dikenali secara pasti. Konon, permainan tradisional ini sudah dikenal di Pulau Natuna (Melayu Riau) jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Sementara di daerah Sulawesi Selatan, gasing baru dikenal pada kisaran tahun 1930-an.
Menurut sumber dari Terengganu, Malaysia, gasing berasal dari permainan memusing buah berembang (buah perepat/sonneratia alba). Buah ini mudah ditemui di pesisir pantai. Diputar dengan tangan. Buah yang berpusing paling lama dan paling ligat dianggap yang paling ‘gah’ dan pemutarnya dianggap pemenang.
Gasing dicipta berdasarkan bentuk buah berembang. Gasing berasal dari dua kata, yaitu ‘gah berpusing’. Gah = ligat, dan pusing = berputar dalam posisi tegak.
Sumber dari Kedah menyebut, asal usulnya justru permainan ‘laga telur ayam’. Itu permainan kegemaran kanak-kanak di masa lampau. Gasing dibuat sebagai tiruan dari bentuk bentuk telur. Poros/kaki ditambah agar gasing berputar dengan kencang. Agar berputar lebih ligat dan tahan lama, tali digunakan untuk memutar gasing.
Gasing akrab dengan kaum laki-laki. Mulai dari anak-anak, remaja hingga kalangan dewasa. Biasanya dimainkan di halaman rumah yang luas, bertanah keras dan datar. Popularitasnya mulai meredup tergerus oleh gelombang modernisasi. Saat perayaan hari-hari besar keagamaan, tahun baru atau tujuh belasan, permainan ini diperlombakan. Maka, kita mesti mempelajari dan berlatih untuk mahir bermain gasing.
Bagaimana teknik bermain dan lombanya? Dari peraturan permainan gasing yang dirilis ASEAN Gasing Asociation (AGA) pada tahun 2003 yang lalu, ada beberapa aspek yang berkaitan dengan aturan permainan gasing ini. Di antaranya, jumlah pemain; jenis permainan, dan jenis gasing.Berdasarkan jumlah, permainan gasing dapat dikelompokkan menjadi tiga: Permainan Beregu (4 orang dan 1 cadangan), Ganda (2 orang), dan Tunggal..
Jenis permainan gasing dapat dibagi menjadi dua, uri dan pangkah. Jenis uri berfungsi untuk melihat seberapa lama gasing berputar, sedangkan pangkah dilakukan dengan cara memangkah gasing lawan yang sudah diputar.
Lamanya permainan beregu dan ganda adalah 20 menit, permainan tunggal 15 menit. Selain itu. Berat standar gasing yang dimainkan adalah 6-8 kg, lebar lingkaran 36-46 cm; tinggi 8-12 cm. Gasing yang dibolehkan adalah yang berbentuk jantung, piring, guci atau rembang.
Sebagaimana diutarakan Endi Aras, sudah cukup lama KGI memendam keinginan menggelar festival gasing nasional. Ajang ini diyakini efektif untuk mempopulerkan gasing sebagai mainan dan khazanah budaya nasional. Namun, mereka sadar, hal itu bisa terwujud jika pemerintah turun tangan. “Peran pemerintah sangat besar. Kalau kami didukung, kami akan menyelenggarakannya.”●(Dody M.)