Oleh : Imam Faturrohmin
Dilihat dari lamanya menunggu kehadiran Undang-Undang (UU) Koperasi baru, maka tidak berlebihan jika proses penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian saat ini disebut mangkrak. Penggunaan istilah yang berkonotasi pada proses berhenti, tak terurus atau tidak dilanjutkan sehingga sia-sia bin mubazir.
Dalam catatan saya, upaya mengganti UU No 25 tahun 1992 diinisiasi pertama kali oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) pada 2005. Namun upaya tersebut tak berlanjut, sehingga prosesnya dilanjutkan oleh Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) yang didirikan oleh Ibnoe Soedjono. Sayangnya, pembahasan hanya selesai pada penghimpunan draft masalah, setelah itu juga tidak lagi berlanjut. Yang dihadapi Dekopin maupun LSP2I waktu itu adalah sikap pemerintah yang setengah hati dalam mendorong kelahiran UU Koperasi Baru.
Demikianlah yang terjadi, dari presiden ke presiden yang silih berganti, namun UU yang adaptif dan mampu kebutuhan masyarakat koperasi Indonesia tak kunjung terwujud. Semula kita optimistis ketika di era Kabinet Indonesia Maju lalu “peti besi” RUU Koperasi kembali dibuka. Bersemangat sekali, bahkan Teten Masduki yang kala itu Menteri Koperasi UKM obral janji bahwa RUU Perkoperasian segera jadi UU sebelum Jokowi lengser dari jabatan presiden. Nyatanya cuma omon-omon. Teten berkilah kemacetan ada di DPR RI yang tidak cukup waktu lantaran kabinet berganti. Teten Masduki menambah daftar panjang menteri koperasi yang gagal meng-goal-kan UU Koperasi; regulasi yang dinanti guna menopang ekosistem koperasi Indonesia yang sudah berpuluh tahun tidak dibenahi.
Harapan bahwa UU Koperasi baru bakal terbit di tahun 2025 kembali membuncah, masyarakat koperasi yang belakangan tumbuh marak dari grup WhatsApps menggelar berbagai focus group discussion, memberikan poin dan pasal penting kepada pemerintah guna ditindaklanjuti dalam pembahasan bersama di Badan Legislasi DPR-RI. Optimisme itu beralasan karena ini pemerintahan baru, dengan Prabowo Subianto yang berasal dari keluarga koperasiwan. Apalagi Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi sangat ‘pede’ mengunci deadline RUU tersebut paling lambat selesai Maret 2025. Mengapa UU Koperasi ini urgent? sedikitnya ada 5 alasan dikemukakan Budi Arie pertama Agar koperasi dapat mengikuti perkembangan zaman. Kedua, Meningkatkan Perlindungan bagi Anggota Koperasi, Ketiga, Mendorong Pertumbuhan Koperasi Sektor Riil, Keempat, Membangun Ekosistem Koperasi yang Lebih Kuat dan Kelima, Mewujudkan Kesetaraan dengan Pelaku Usaha Lain.
Yang pasti jika UU No 25 Tahun 1992 masih saja jadi pedoman regulasi utama perkoperasian di Tanah Air, maka kita akan terus menemui koperasi yang lemah pasar dan teralienasi dengan persoalan ekonomi riil. Hanya di Indonesia kiranya badan usaha bernama koperasi tak diakui berkompetisi di sektor pariwisata, asuransi, rumah sakit dan sektor usaha produktif lain yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Tapi orang koperasi kembali kecele, fokus Budi Arie terbelah dengan instruksi top-down masifikasi koperasi desa yang agaknya sangat sulit ditolak. Bahwa kini sudah ada lapis kedua, Wakil Menteri Koperasi, toh tak menggugah penyegeraan UU Koperasi baru yang kehadirannya ditunggu selama lebih dari tiga dasa warsa.
Di rentang penantian yang relatif panjang itu, saya teringat dengan Vladimir dan Estragon dua tokoh utama dalam drama karya Samuel Beckett, Waiting for Godot. Setiap hari keduanya berdiri di tepi jalan, sambil menghabiskan waktu dengan percakapan yang absurd dan berulang, menantikan kehadiran Godot yang tak kunjung datang. []