hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas

Fungsi laten lainnya dapat muncul dalam bentuk bentrokan kelembagaan. KPK, Kejaksaan, Polri, dan PPATK memiliki kepentingan dan kewenangan masing-masing

Pemerintah pastikan beri dukungan penuh terhadap pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset yang telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan 2026. “Presiden Prabowo Subianto berkomitmen mengawal proses ini,” ujar Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Aturan ini diyakini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam memberantas korupsi.

Dari sisi legislatif, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Sturman Panjaitan, menyebut bahwa pembahasan RUU diproyeksikan berlanjut hingga tahun depan, jika tidak rampung pada 2025. Ia menilai penyusunan aturan tidak boleh terburu-buru demi memastikan tidak ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan pelaku tindak pidana.

Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, memastikan proses pembahasan akan dilakukan secara terbuka dan transparan agar publik dapat terus memantau jalannya diskusi. Menurut dia, keterbukaan ini menjadi bukti keseriusan DPR dalam memperkuat pemberantasan korupsi serta praktik kejahatan ekonomi yang merugikan negara. “Tidak boleh ada pembahasan yang tertutup. Semua harus bisa diakses publik,” tutur Bob.

Secara akademis, Yvonne Kezia D. Nafi, Dosen Sosiologi Hukum, FHUI, mengingatkan beberapa hal. Bahwa diperlukan konsep sunset review berarti aturan diberlakukan dengan jangka waktu tertentu dan wajib dievaluasi sebelum diperpanjang. Melalui evaluasi berkala, negara bisa menilai sejauh mana RUU PA ini efektif mempercepat pemulihan aset—apakah ada dampak sosial yang merugikan seperti salah-sita atau kriminalisasi politik, serta apakah publik sungguh melihatnya sebagai norma yang adil.

Di luar tujuan itu, RUU ini juga membawa fungsi laten yang tidak kalah penting untuk dicermati. Salah satunya adalah potensi menjadi instrumen politik simbolik. Pembahasan cepat dan pengesahan buru-buru mungkin lebih banyak berfungsi untuk meredam amarah publik ketimbang memperkuat tata kelola pemberantasan korupsi.

Risiko lainnya adalah pelemahan prinsip due process of law. Tanpa pagar prosedural yang jelas, seperti standar pembuktian yang ketat atau perlindungan bagi pihak ketiga yang beriktikad baik, perampasan aset bisa berubah menjadi praktik salah-sita, intimidasi, bahkan represi politik.

Selain itu, fungsi laten lainnya dapat muncul dalam bentuk bentrokan kelembagaan. KPK, Kejaksaan, Polri, dan PPATK memiliki kepentingan dan kewenangan masing-masing, dan tanpa mekanisme koordinasi yang rapi, aturan baru justru bisa menambah kerumitan birokrasi dan tarik-menarik kewenangan. RUU ini juga berpotensi menimbulkan bias kelas.

Masyarakat kecil atau keluarga yang tidak tahu-menahu bisa ikut terdampak karena aset bersama disita tanpa mekanisme keberatan yang jelas. Akhirnya, ada pula paradoks keadilan: ketika hukum yang diklaim pro-rakyat ternyata disusun secara tertutup dan elitis, hasilnya justru menjauhkan hukum dari rakyat yang seharusnya ia lindungi.

Proses legislasi yang terbuka dan partisipatif bukan sekadar formalitas, tetapi syarat untuk menumbuhkan legitimasi sosial. Tanpa itu, RUU yang digadang-gadang pro-rakyat justru bisa menambah jarak antara rakyat dan negara.

Perampasan aset memang dimaksudkan untuk menekan perilaku menyimpang, tetapi bila implementasinya diskriminatif atau menimbulkan salah-sita, norma ini justru berisiko memperlebar ketidakpercayaan terhadap hukum.

Untuk memastikan hukum ini tidak berhenti sebagai politik simbolik, perlu mekanisme evaluasi yang berkesinambungan. Di sinilah konsep sunset review menjadi relevan. Sunset review berarti aturan diberlakukan dengan jangka waktu tertentu dan wajib dievaluasi sebelum diperpanjang.●(Zian)

pasang iklan di sini