octa vaganza

RUU KOPERASI TERGANJAL PASAL ‘PESANAN’

Para pegiat Koperasi ramai-ramai menolak rancangan regulasi baru yang dinilai tidak sesuai semangat demokrasi dan identitas sokoguru perekonomian. DPR pun akhirnya mendengarkan aspirasi publik.

Rencana pemerintah dan DPR-RI mensahkan draf Rancangan Undang Undang (RUU) Koperasi pada akhir Agustus lalu urung terlaksana. Sejumlah penolakan terhadap RUU ini bermunculan dan bermuara pada keberadaan pasal-pasal tentang Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang dinilai tidak relevan dengan esensi perundang-undangan itu sendiri. 

Yang menarik, dukungan terhadap RUU ini untuk segera disahkan datang  dari sejumlah lembaga keagamaan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.  Kedua organisasi ini menilai UU Koperasi yang baru  dapat menangkal bahaya rentenir yang belakangan kian marak menggunakan bendera koperasi. 

Urgensi UU baru itu, kata Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Muhajir,  terkait dengan keberadaan UU No 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang saat ini sudah ketinggalan zaman.  Pernyataan tersebut mendapat dukungan dari Ketua PB Nahdlatul Ulama KH DR Eman Suryaman yang berharap RUU Koperasi segera digolkan jadi UU.  Ia sepakat dengan Muhajir, bahwa selain diperlukan regulasi baru, maka keberadaan UU Koperasi yang baru juga dapat menangkal tumbuh kembangnya koperasi-koperasi rentenir.

Bagi sejumlah pelaku koperasi yang mengajukan keberatan terhadap RUU ini juga punya alasan yang kuat.  Ketua Pengurus Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (Kopsyah BMI) Tangerang Banten, Kamaruddin Batubara misalnya, dengan tegas menyatakan tidak keberatan dengan RUU yang sudah disiapkan dengan matang oleh pemerintah dan DPR itu. Namun, sebelum palu pengesahan diketuk, dia meminta pemerintah dan DPR agar meninjau ulang sejumlah pasal-pasal yang tidak relevan dengan kinerja perkoperasian. “Pasal tentang kepengurusan  Dekopin selama tiga periode misalnya,  apa urusannya masuk ke dalam UU ini ?  Itu kan masalah internal Dekopin yang bisa dicantumkan dalam AD/ART. Jika ketentuan tersebut masuk ke dalam UU Koperasi yang baru, saya khawatir ada gelombang ketidakpuasan baru yang nanti kembali akan mendatangi Mahkamah Konstitusi,” tuturnya. 

Hal positif dalam RUU tersebut adalah adanya   sejumlah kemajuan  pada pasal-pasal yang terkait dengan definisi, tujuan, fungsi dan penambahan bab baru, yaitu Bab  II tentang Nilai dan Prinsip yang sudah mengadopsi ratifikasi International Cooperative Aliance (ICA). 

Menurut Kamaruddin, kemajuan tersebut terlihat dari tercantumnya nilai-nilai koperasi dan nilai-nilai etika yang syarat dengan ajaran-ajaran syariah.  “RUU ini juga telah memiliki prinsip-prinsip yang sangat mencirikan jati diri koperasi, yaitu pasal 6 ayat (4d) yang berbunyi otonomi dan kemandirian, dan menyempurnakan prinsip-prinsip koperasi dalam pasal 6 ayat (4g) yang berbunyi kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujarnya. 

Alhasil lanjut Kamaruddin, pihaknya mendukung RUU tersebut  dengan catatan, bahwa pasal tentang Dekopin harus dihapuskan. Dan kita punya waktu dua tahun untuk memperjuangkan itu karena UU sah setelah 2 tahun tidak ada tuntutan,” ujar peraih Satyalancana Wira Karya di Bidang Perkoperasian Tahun 2018 ini.

Dari Kalimantan Barat, Gerakan Koperasi Credit Union tegas menolak  kehadiran Dekopin dalam UU Koperasi yang baru. Gerakan koperasi yang mewakili 56 koperasi dan 1,1 juta anggota ini meminta penundaan untuk pendalaman materi lebih lanjut sebelum disahkan ke Rapat Paripurna.  Tuntutan tersebut disampaikan bersama oleh  Mikael (Ketua Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa), Gabriel Marto (Ketua Puskopdit Borneo) dan  Agustinus Alibata (Sekretaris BKCU Kalimantan). 

“Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak warga negara untuk bebas berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Ini juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerja demokrasi yang dihargai tinggi oleh gerakan koperasi,” kata Mikael. 

Gerakan koperasi yang telah tumbuh berkembang sejak 1976 di Kalimantan ini menyatakan mereka berpegang teguh pada tiga pilar: swadaya, solidaritas dan pendidikan. Menurut gerakan ini wadah organisasi gerakan koperasi yang kokoh itu juga harus ditumbuhkan secara sukarela dan kekuatan swadaya dari anggotanya bukan dengan cara paksa. 

“Kami menolak jika diwajibkan membayar iuran untuk Dekopin (Pasal 82) serta penggunaan dana yang bersumber APBN dan APBD untuk Dekopin,”  ujar Mikael. 

Gerakan ini juga meminta penghapusan berbagai bentuk potensi terjadinya birokratisasi dalam proses pendirian koperasi (Pasal 11) serta intervensi terhadap hal-hal teknis urusan rumah tangga koperasi, dalam hal perencanaan kerja koperasi (Pasal 77,78,79,80) sampai dengan persoalan alokasi sisa hasil usaha (Pasal 87) yang sebetulnya sudah menjadi urusan koperasi sendiri.

Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Koperasi Simpan Pinjam (Askopindo)  Sahala Panggabean mengajak pegiat koperasi menggalang komitmen untuk bersama mengusulkan draf dan pasal-pasal yang sesuai dengan kebutuhan perkoperasian. Karenanya dia menolak jika terdapat muatan yang tidak sesuai bahkan merugikan usaha koperasi.

Sahala sepakat dengan Kamaruddin bahwa RUU tersebut harus segera disahkan jadi UU, namun dia keberatan dengan pasal-pasal mengenai peranan Dekopin yang dinilainya tidak proporsional. “Setelah saya baca draf akhir yang paling penting kita kritisi hanya Dekopin. Apalagi ada kewajiban Pemda (Provinsi, Kab/Kota) mengalokasikan APBD untuk Dekopin plus APBN. Ini sudah ngawur,” tukasnya.

Pasal Ironis

Dihubungi terpisah, pengamat senior perkoperasian Djabaruddin Djohan menyatakan kegeramannya terhadap intervensi RUU Koperasi. Menurutnya,  sangat ironis di zaman reformasi yang seharusnya meniadakan lagi ormas tunggal namun UU ini justru memberi hak istimewa kepada Dekopin. Padahal, selama ini Dekopin tidak mampu mengangkat derajat koperasi Indonesia, baik di dalam negeri maupun di gerakan koperasi internasional. 

“Pasal tentang Dekopin dihapus saja, diganti dengan pasal tentang Organisasi Gerakan Koperasi, yang pembentukannya diserahkan sepenuhnya kepada gerakan koperasi,” ujar mantan Pemimpin Redaksi Majalah Pusat Informasi Perkoperasian itu. 

Senada dengan itu, Ketua Forum Komunikasi Koperasi Besar Indonesia  Iwan Setiawan mengatakan, UU Perkoperasian seharusnya tidak terlalu jauh mengatur rumah tangga koperasi dan tidak melecehkan lembaga koperasi yang berada di bawah PT dan BUMN. Dia berharap pasal-pasal yang tidak relevan dengan usaha koperasi sebaiknya dihapus saja. 

Sedangkan Ketua KPPD Hasanudin Bsy menilai masalah kewajiban koperasi ke Dekopin tidak boleh ada unsur pemaksaan, karena koperasi bersifat sukarela. 

“Dekopin jangan dibubarkan, tapi isinya yang harus dibubarkan. Dekopin seyogyanya tidak merupakan wadah tunggal. UU ini harus memberi ruang kepada koperasi untuk memilih wadahnya sendiri,” tegas Hasanuddin seraya menambahkan pasal tentang pendirian koperasi yang menetapkan jumlah 9 orang juga harus dikritisi. Karena berpotensi kepemilikan koperasi bakal dikuasai segelintir pemodal besar.

Keberatan terhadap pasal-pasal Dekopin juga mengemuka di kalangan  legislatif.  Seperti dikemukakan anggota DPR RI dari Komisi VI, M Nasim Khan yang menilai bahwa  pasal keberadaan  Dekopin  dalam RUU Perkoperasian   menimbulkan tunggalisasi wadah gerakan koperasi. Hal ini menyalahi azas demokrasi dan otonomi koperasi.  Menurut Nasim ketentuan ini memberikan keistimewaan kepada organisasi Dekopin.

“Di antaranya ketentuan pengalokasian APBN dan APBD untuk Dekopin yang dapat membuat ketidakadilan untuk gerakan koperasi yang lain,” ujar Nasim kepada wartawan, Senin (26/8/19). 

Anggota Panja RUU Perkoperasian ini  berjanji untuk usut tuntas soal Dekopin ini dalam pembahasan berikutnya. Di luar masalah Dekopin itu, menurut Nasim  sekalipun ada sejumlah catatan, secara umum RUU ini sudah cukup baik dan sudah memperhatikan jatidiri dan prinsip-prinsip koperasi.  RUU ini juga memasukkan nilai-nilai syariah yang sudah banyak diterapkan oleh koperasi-koperasi, sehingga koperasi berlandaskan prinsip syariah mempunyai payung hukum yang jelas. RUU ini juga sudah mengantisipasi adanya koperasi-koperasi rentenir yang selama ini berkembang.

Pro Kontra Pasal Syariah

Masuknya pasal-pasal mengenai koperasi syariah dalam draft RUU ini tak urung menimbulkan pro- kontra. Dekopinwil Jawa Timur menilai pasal-pasal   yang mengatur tentang Koperasi Syariah agar dipertimbangkan kembali mengingat Koperasi dalam setiap kegiatan usahanya telah memenuhi unsur syariah (dari, oleh dan untuk anggota) dan karena prinsip syariah dalam pelaksanaannya berpotensi bertentangan dengan Prinsip Koperasi nomor 1 “Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka”.

Sementara itu  Komite Nasional Keuangan Syariah  (KNKS)  menilai pasal  koperasi  syariah justru positif karena dapat mendorong  perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Hal itu ditegaskan  oleh   Direktur Keuangan Inklusi, Dana Sosial Keagamaan, dan Keuangan Mikro Syariah KNKS Ahmad Juwaini.  Pernyataan tersebut senada dengan para pegiat koperasi syariah dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka menyatakan RUU Koperasi perlu memberikan pengaturan tentang koperasi syariah. 

Menurut Ahmad, rancangan UU Koperasi perlu mencantumkan pengaturan pokok prinsip organisasi, dan mekanisme operasional utama koperasi syariah. Tak hanya itu, aturan rinci terkait koperasi syariah perlu dimasukkan dalam beleid berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Sedangkan Kamaruddin berpendapat masuknya koperasi syariah dalam RUU koperasi merupakan salah satu kemajuan positif.   (Irvan/Irm)

Exit mobile version