JAKARTA—-Pada suatu pesta, Budi Darmawan bertemu seorang anak muda dengan bangga memakai baju batik motif slobo yang dianggapnya keren dan trendi. Dia kemudian bertanya: Tahu arti motif slobo itu?
Anak muda itu menggeleng dan Budi pun menerangkan: Orang Yogyakarta memakai baju batik motif slobo karena itu hanya dipakai untuk membungkus mayat. Hal itu dipercaya agar ruh si mayat dipermudah bertemu Sang Khalik.
Edukasi seperti itu diperlukan untuk memasyarakatkan dan melestarikan batik. Batik yang dimaksudkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO bukan (motif) pada kainnya, tetapi teknik merinting warna memakai malam yang panas dan cair dengan canting.
Pada Mei 2011, Budi Darmawan bersama rekannya Budi Dwi Haryanto mendirikan Rumah Batik Palbatu. Pendirian Rumah Batik Palbatu itu wujud kecintaan mereka terhadap batik.
Lewat Rumah Batik itu mereka berbagi ilmu mengenai batik melalui program Sedekah Batik dan mendorong warga Kampoeng Batik Palbatu untuk membuka dan mengembangkan Sanggar-sanggar Membatik dan juga Gerai-gerai Batik.
Rumah Batik Palbatu kemudian berkembang berkolaborasi dengan berbagai komunitas, seperti komunitas orang kantoran, kafe, kampus, sekaligus juga mengenalkan batik kepada kaum milenial hingga filosofinya bukan hanya bisnis dan branding.
Jaringan mitra binaannya mencapai seluruh jabodetabek,dan melibatkan puluhan orang, termasuk para perajin yang ada di Rumah Batik Palbatu.
“Saya memberdayakan penyandang disabilitas tuna runggu dan penyitas kanker untuk belajar batik,” ujar Budi ketika ditemui Peluang, di sanggarnya di kawasan Palbatu IV, Jakarta Selatan, Kamis (30/1/20).
Batik yang dibuat secara handmade ini (bukan printing) dijual dengan harga Rp250 ribu untuk cap dan Rp350 ribu dengan canting paling murah hingga jutaan rupiah. Karena handmade, rumah ini hanya bisa membuat batik 10 hingga 25 helai per bulan.
“Para pembeli banyak dari mancanegara, di antaranya Australia dan Eropa. Event Asian Games juga membantu kami mendapatkan pembeli yang datang,” cerita alumni jurusan manajemen Universitas Indonesia ini.
Di Sanggar itu Peluang bertemu Ika, seorang penyandang tuna runggu. Sejak terlibat di pelatihan ini pada 2017, Ika sudah mampu membuat 10 helai batik dan semuanya terjual. “Bagi saya membatik itu menyenangkan,” ucap dia.
Budi bercerita sebelum membatik Ika, juga menjahit. Tetapi kerajinan dia tekuni sebelumnya masih tergantung orang lain. Dengan membatik dia bisa sendiri.
Selain itu ada Ani, 32 tahun, ibu rumah tangga di Palbatu. Sejak 2015 dia sudah membatik dan hasil jerih payahnya membantu perekonomian keluarga.
“Sebulan saya mampu membuat 2 atau 3 helai batik, “ ujar perempuan yang hanya tamat SMP ini (Irvan Sjafari)