Di tepi Rubicon, Julius Caesar, diliputi kebimbangan. Ia dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan nafsu berkuasa atau menjaga kedaulatan Romawi dengan meletakkan pedang, lalu menjadi warga negara yang baik.
Dadanya bergejolak kencang, haruskah perjuangan berdarah-darah menaklukan Galea selama 8 tahun berakhir begitu saja, Senat memintanya pulang sebagai veteran tanpa pasukan. Ataukah ia harus menyeberangi Rubicon, sungai dangkal sebatas betis orang dewasa itu? Ia amat mafhum bahwa siapapun melintas Rubicon dari arah utara dengan pasukan lengkap, adalah isyarat pernyataan perang terhadap Romawi. Maka, di hari itu, 10 Januari 49 SM ia mengambil keputusan besar yang merubah sejarah jalan hidupnya, melintasi Rubicon merebut kembali jabatannya yang hilang.
Ini memang perang yang getir bagi Caesar. Ia terpaksa harus berhadapan dengan jenderal besar, Pompey Magnus, sekutu lamanya yang pernah menjadikannya sebagai Konsul, jabatan politik tertinggi di Republik Romawi. Pengangkatan itu tentu tidak gratis. Di tahun 60 SM, Caesar berhasil meredam konflik elit antara dua jenderal perang paling berkuasa, Pompey Magnus dengan Marcus Licinius Crassus. Pamor Crassus yang juga pengusaha terkaya itu sedang mencorong setelah —berkat bantuan Caesar— berhasil mematahkan pemberontakan Spartacus. Namun kemenangan itu ditanggapi dingin oleh Pompey, ia mengklaim lebih berhak disebut sebagai pahlawan yang membasmi pemberontakan para gladiator itu. Caesar berada di antara keduanya. Akal liciknya membisikkan ia harus mengambil keuntungan dengan menguasai keduanya.
Arkian, pada satu malam Caesar menyusun rencana berbahaya mengundang dua jenderal berseteru itu untuk sebuah konspirasi besar. Pompey maupun Crassus hampir menghunus pedang masing-masing lantaran curiga dengan adanya agenda tersembunyi. Namun Caesar meyakini keduanya untuk bersatu membentuk koalisi yang bakal mengatur jalannya pemerintahan. “Jadikan aku Konsul, maka aku pastikan meloloskan keinginan kalian,” janji Caesar.
Lalu, lahirlah triumvirat, sebuah aliansi kotor tiga kekuatan politik antara penguasa, pengusaha dan militer yang mengontrol pemerintahan di republik berpenduduk 4 juta jiwa itu. Caesar berhasil mencapai ambisinya menjadi Konsul Romawi pada 59 SM, disokong dua kolega amat kuat di bidang keuangan dan militer, Pompey dan Crassus.
Aliansi triumvirat memastikan tak sepotongpun jarum jatuh yang tidak diketahui oleh mereka. Kontrol massif dari sebuah rezim yang banal seperti ilusi George Orwell dalam novel fiksinya: Nineteen Eighty Four, 1984. Distopia mengerikan tentang totalitarianisme yang mengintai seluruh aspek kehidupan masyarakat, seperti dilakukan Caesar.
Sehari setelah menjabat Konsul, ia mengeluarkan regulasi perpajakan dan reformasi pertanahan, namun mendapat penolakan Senat. Tidak sulit baginya untuk memaksakan kehendak. Maka, Caesar mengirim para tukang pukul bayaran mendatangi kediaman para senator, mengintimidasi dengan ancaman dan penganiayaan hingga mereka menyetujui kehendak Konsul.
Melalui cara-cara kejam Caesar berhasil meloloskan pengurangan pajak yang besar untuk pengusaha Crassus dan alokasi tanah yang luas untuk barak militer Pompey. Boleh jadi, ketika 1.500 tahun kemudian Machiavelli menyerap tuntas etika berkuasa ala Caesar, ketika dalam bukunya ll Principe (The Prince) mengajarkan bagaimana kekuasaan harus direbut dengan berbagai cara, sekalipun dengan menggunakan trik paling kotor. Tak peduli.
Tetapi kekuasaan itu sendiri melenakan nyaris tak mengenal titik jenuh. Sementara politik tak punya muka, saling sikut, halalkan banyak cara. Dan triumvirat terkurung di wilayah abu-abu tersebut, dengan mata yang tajam saling mengawasi. Ketika kekuasaan Caesar semakin besar dan cenderung memakan induk semangnya sendiri, kongsi pun pecah. Caesar menyingkir dengan kembali berperang menaklukan wilayah baru untuk republik. Ia merebut Galea, daerah yang kini meliputi Perancis dan Belgia, dan sebagian Swiss, Belanda dan Jerman. Saat kembali pulang ke Romawi ia melintasu Rubicon. Alea Iaste vest, dadu telah dilempar. Dan perangpun kembali berkobar.