Tajuk  

Ruang Fiskal

Utang bikinan 2015 akan jatuh tempo pada 2025. Jalan penyelesaiannya? Hanya satu cara instan untuk menghimpun uang besar dalam waktu singkat: pungutin kantong warga lebih dalam. Apa saja yang kudu dipungutin (oleh Menkeu yang sama tiga periode kepresidenan)? Ya naikkan PPN/Pajak Pertambahan Nilai jadi 12%, BPJS, kumpulkan dana pensiun, dan lain-lain. Repotnya, sikon kelas menengah negeri ini saat ini tengah sesak napas.

Jumlah utang pemerintah per 31 Juli 2024 telah Rp8.502,69 triliun. Itu setara 38,68% PDB. Kapasitas beban warisan utang tercermin dari pagu anggaran belanja untuk membayar bunga utang dalam RAPBN 2025, yakni Rp552,9 triliun. Jumlah itu sudah melampaui belanja pegawai 2022. Ini alert untuk pemerintah. Artinya, ruang fiskal untuk 2025 kian menjepit. Padahal, fiskal Indonesia masih terdampak pengelolaan utang/aset yang semberono masa lalu. Ekses kasus BLBI, umpamanya, masih terasa hingga 30 tahun kemudian.

Begitulah. Tujuh puluh hari pascapelantikan, Prabowo langsung dihadang pembayaran utang jatuh tempo Rp800,33 triliun. Rinciannya, Rp705,5 triliun dari penerbitan Surat Berharga Negara/SBN dan Rp94,83 triliun berupa pinjaman. Gunung utang tersebut belum termasuk bunganya, yang pada 2025 tembus Rp552,85 triliun. Jika ditotal, utang jatuh tempo dan bunga yang harus dibayar di tahun pertama Prabowo adalah Rp1.353,1 triliun. Parahnya, RAPBN 2025 justru disusun dengan ‘ketergantungan’ utang.

Tahap berikutnya, pembayaran utang jatuh tempo periode 2026-2029 tak kalah besar. Rinciannya, Rp803,19 triliun di 2026, belum termasuk bunga. Wajib bayar Rp802,61 triliun pada 2027, lalu Rp719,81 triliun di 2028, dan utang jatuh tempo Rp632,3 triliun pada 2029.

Selain mewariskan utang jatuh tempo jumbo pada 2025, rezim terdahulu juga menyisakan ‘tabungan’ negara yang minimalis. Legacy-nya di bidang pembangunan harus dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi. Utamanya setelah episentrum Istana membuldozer konstitusi demi memancangkan pilar-pilar dinasti di era demokrasi.

Di era lalu yang dekat, indeks demokrasi Indonesia cenderung menurun. Selama 2019-2022, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital minimal 834 korban. Korbannya mencakup pejuang HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.

Nuansa otoritarian dalam banyak kebijakannya yang pro-oligarki memantik penentangan luas yang tersembunyi. Figur semacam Said Didu tampil menyerukan blunder sikap rezim yang anti-demokratik. Bagaimanapun, kelewat dekat dengan, bahkan tergantung pada, oligarki jelas salah arah dan sesat orientasi. Soalnya, pada saat yang sama, rezim terperangkap deal-deal kompensasi. Indikasinya?

Lacak saja via proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, dengan pembengkakan biaya pembangunan Rp18,36 triliun. Proyek ambisius mubazir IKN merefleksikan itu semua. Pola gusur rakyat sendiri itulah yang diduplikasi di Pulau Rempang, Desa Wadas, Air Bangis, Mandalika, BSD, PIK 2 dan lain-lain atas nama 248 PSN/Proyek Strategis Nasional.●

 

Salam,

Irsyad Muchtar

Exit mobile version