
Oleh: Edy Mulyadi
MENTERI KEUANGAN baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan langkah spektakuler. Dia menempatkan Rp200 triliun dana negara di lima bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Tujuannya, menggerakkan kredit dan menstimulasi ekonomi.
Namun, ada catatan serius yang tak boleh diabaikan: dana ini tidak gratis. Pemerintah mematok bunga 4% yang harus dibayar bank.
Pertanyaan mendasar, apakah bunga 4% itu terlalu mahal? Ironisnya, bank-bank saat ini hanya memberi bunga simpanan masyarakat di kisaran 2,5–3% untuk deposito. Bahkan di bawah 1% untuk tabungan. Artinya, bank bisa mendapatkan dana lebih murah dari masyarakat ketimbang dari Purbaya yang 4%. Lalu, di mana letak efektivitasnya?
Kini mari lihat mata rantai berikutnya. Jika bank sudah dibebani bunga 4% dari pemerintah, maka mustahil kredit bisa ditekan murah. Saat ini rata-rata bunga kredit perbankan masih berkisar 9–11% per tahun. Bahkan untuk UMKM bisa lebih tinggi. Angkanya bisa mencapai 13%. Dengan tambahan biaya dana 4%, kecil kemungkinan pinjaman dari Rp200 triliun itu bisa lebih murah. Bank tentu akan menyalurkan kredit di level yang sama atau malah lebih mahal.
Lantas siapa yang akan paling diuntungkan? Jelas bukan UMKM. Dengan bunga tetap tinggi, pelaku usaha kecil akan tetap kesulitan mengakses permodalan. Sebaliknya, korporasi besar dengan rekam jejak kredit yang lebih ‘aman’ akan lebih dulu dilirik bank. Maka, skema ini berpotensi menjadi _backdoor bailout_ bagi konglomerat yang bisnisnya sedang megap-megap ditimpa utang dan penurunan likuiditas. Alih-alih menyasar ekonomi rakyat, Rp200 triliun justru bisa jadi talang air bagi kelompok bisnis besar.
Bank harus menyalurkan kreditnya. Mereka tidak mungkin memarkir dana itu karena ada beban bunga 4%. Dengan grojogan Rp200 triliun, bunga yang harus mereka bayar mencapai Rp8 triliun. Mabok juga, kan?
Apalagi Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional kini sudah di kisaran 85%. Artinya, bank tidak sedang kekeringan likuiditas. Justru mereka cenderung over likuid. Jadi, tambahan dana Rp200 triliun bukanlah penyelamat, melainkan beban. Jika pasar kredit tak terserap, dana ini hanya akan parkir, sementara beban bunga tetap berjalan.
Dari sisi intermediasi, perbankan kita juga masih bermasalah. Net Interest Margin (NIM) Indonesia masih di level 4–5%. Ini jauh di atas rata-rata negara tetangga yang hanya 2–3%. Tingginya spread ini menunjukkan bank kita lebih mirip rentenir ketimbang lembaga intermediasi sehat. Alih-alih menjadi jembatan antara pemilik modal dan pelaku usaha, bank justru mencari margin setinggi mungkin.
*Bukan Solusi*
Dengan semua kondisi itu, langkah Purbaya tampak lebih sebagai ‘gebrakan politik’ ketimbang solusi riil. Jika bunga tidak dikoreksi lebih rendah, target menggerakkan ekonomi akan gagal total. Yang terjadi justru sebaliknya: negara menyuntik dana segar ke bank, lalu bank menyalurkan ke konglomerat besar. Pada saat yang sama UMKM tetap dicekik bunga mahal. Dalam bahasa lain, Rp200 triliun ini rawan menjelma sebagai skema bailout terselubung.
Jika benar ingin menggerakkan ekonomi rakyat, dana sebesar itu seharusnya diarahkan langsung ke sektor produktif: koperasi, UMKM, dan sektor riil dengan bunga ultra-rendah bahkan tanpa bunga. Bukan disalurkan lewat bank yang lebih memikirkan margin daripada fungsi sosialnya.
Pertanyaan terakhir, apakah Purbaya berani melawan arus dan menata ulang skema ini? Atau dia sekadar mengulang dosa lama Sri Mulyani dengan wajah baru? []
[Penulis adalah wartawan senior]