hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Rp200 Triliun: Duit Rakyat (Harus) untuk Rakyat

Pelemahan Rupiah Dipicu Risiko Defisit APBN, Ekonom Soroti Rencana Penggunaan SAL
Ilustrasi : Rupiah/dok.isti

Oleh: Edy Mulyadi

SEORANG sahabat, yang juga pengusaha tinggal di Jawa Timur, mengirim respon atas artikel saya berjudul “Menkeu Baru Jalan Baru: Dari Neolib Ke Ekonomi Kerakyatan?”.

Dia mengkritisi niat Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa yang bakal menggerojok perbankan nasional sebesar Rp200 triliun. Kalau tidak hati-hati, kata dia, uang itu akan jadi backdoor bailout bagi bisnis konglomerat yang megap-megap.

Sahabat tadi menulis, problem perekonomian kita bukan perbankan yang kekeringan likuiditas. Karenanya dia menyarankan sejumlah aspek teknis terkait soal ini. Intinya, ada sejumlah PR yang harus dilakukan Purbaya, agar duit Rp200 triliun itu tepat sasaran, yaitu menggerakkan ekonomi yang mandek.

Gebrakan Purbaya beberapa jam setelah pelantikan memang menarik. Logikanya sederhana: ada likuiditas, maka usaha bergerak, lapangan kerja tercipta. Tapi, seperti kata kawan tadi, tetap perlu dikritisi.

*Bukan Likuiditas, Tapi Kredit Seret*

Soal likuiditas, misalnya. Data yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Perbankan Indonesia sedang mengalami excess liquidity alias likuiditas berlebih. Data OJK dan BI konsisten memperlihatkan loan-to-deposit ratio (LDR) di bawah 85%. Artinya, dana pihak ketiga (DPK) melimpah, tetapi penyaluran kredit tertahan.

Kenapa kredit tidak mengalir deras? Karena permintaan kredit lesu, risiko usaha tinggi. Ketidakpastian ekonomi membuat bank berhitung lebih hati-hati. Dunia usaha enggan berekspansi. Kenapa? Karena rakyat juga tak punya daya beli cukup. Jadi problemnya bukan suplai dana, melainkan keberanian dan kebutuhan pasar untuk mengambil kredit.

Di sinilah muncul pertanyaan besar: jika likuiditas bukan masalah, untuk siapa sebenarnya Rp200 triliun ini akan dialirkan? Kalau tidak cermat, dana pemerintah disulap jadi backdoor bailout bagi korporasi besar yang sedang megap-megap menutup utang jatuh tempo. Bank tentu lebih nyaman menyalurkan kredit ke konglomerasi papan atas yang dianggap too big to fail daripada ke UMKM atau sektor produktif yang risikonya lebih tinggi.

Bahaya lain adalah moral hazard. Duit publik dipakai untuk menalangi kegagalan bisnis swasta. Pada saat yang sama, rakyat kecil tetap kesulitan akses kredit. Lebih parah lagi, langkah ini bisa mengacaukan sinyal kebijakan fiskal-moneter. Seolah-olah fasilitas BI tidak efektif, padahal mandat BI memang menjaga stabilitas moneter, bukan jadi mesin pendanaan politik.

*Rp200 Triliun dengan PR Ketat*

Kita percaya Menkeu bermaksud menggerakkan sektor riil dan membuka lapangan kerja. Tapi jalannya bukan sekadar mengalirkan dana besar ke perbankan tanpa syarat. Ada beberapa langkah lebih sehat. Pertama, kredit bersyarat (directed credit). Dana yang pemerintah tempatkan ke perbankan nasional hanya boleh digunakan untuk sektor produktif: UMKM, pertanian, perikanan, industri padat karya. Harus transparan dan akuntabel.

Kedua, skema penjaminan risiko (credit guarantee). Banyak UMKM gagal akses kredit karena dianggap berisiko. Pemerintah bisa menjadi penjamin agar bank lebih berani.

Ketiga, insentif fiskal. Bank yang terbukti menyalurkan kredit ke sektor produktif dengan bunga terjangkau harus mendapat insentif, bukan sekadar kompensasi rutin.

Keempat, perkuat daya beli. Kredit akan mengalir bila ada permintaan. Artinya, rakyat harus punya daya beli. Caranya, buka lapangan kerja seluas-luasnya. Lalu hentikan atau hapus aneka pajak mencekik, kendalikan harga kebutuhan pokok. APBN juga harus memperbesar belanja sosial yang produktif.

Rp200 triliun bukan angka kecil. Salah langkah, ia hanya akan menolong konglomerat, bukan rakyat. Ini ujian besar bagi Purbaya, apakah berani keluar dari jebakan neolib. Mazhab ekonomi yang dengan amat patuh dijalankan Sri Mulyani itu selama puluhan tahun menyehatkan angka APBN untuk investor asing. Di sisi lain membuat dan membiarkan perut rakyat tetap lapar.

Uang rakyat harus kembali ke rakyat. Bukan jadi subsidi terselubung untuk oligarki. Inilah jalan ekonomi kerakyatan yang semestinya ditempuh. Ini harus dilakukan, jika memang ingin sejarah mencatat Purbaya berbeda dengan pendahulunya. []

[Penulis Adalah Wartawan Senior]

pasang iklan di sini