Cooperative Wholesale Society (CWS) yang berdiri di Manchester Inggris pada 1863 jadi tonggak penting sejarah koperasi dunia. Kehadirannya memupus rasa cemas dan sekaligus pembuktian terhadap denyut ekonomi koperasi sebagai entitas bisnis yang layak dipertaruhkan.
Ide besarnya mengacu pada konsep Robert Owen, pemilik pabrik tekstil di New Lanark, Skotlandia saat menggagas komunitas koperasi, di mana produksi dan distribusi barang dilakukan secara kolektif. Agak muskil menerjemahkan gagasan tersebut, sehingga yang muncul hanyalah koperasi-koperasi skala kecil dan lokal, sekadar menjual barang kebutuhan dasar, seperti tepung, gula, mentega dan lilin.
Gagasan Owen akhirnya diwujudkan oleh 28 buruh ketika mendirikan Rochdale Society of Equitable Pionners. Hari pertama aktivitas mereka membuka toko kebutuhan pokok untuk anggota dan masyarakat di 31 Toad Lane, Rochdale, Inggris pada 21 Desember 1844.
Kendati Rochdale Society menjadi tonggak koperasi konsumen pertama di dunia, namun tidak mudah mengartikulasi koperasi sebagai entitas bisnis yang hanya mengandalkan kumpulan orang ketimbang kumpulan modal; bahkan koperasi terkesan hanya konsep utopis kaum sosialis.
Maka, ketika 300 koperasi individu di seantero Inggris bergabung membentuk grosir koperasi bernama Cooperative Wholesale Society, utopia Owen jadi realita. Sebuah koperasi milik bersama antara penjual dan pembeli, penyedia aneka barang dan kebutuhan pokok dengan harga yang adil kepada anggotanya.
Di tengah gemuruh kebangkitan industri berbasis pasar bebas, kehadiran Koperasi nyaris tak bergema. Pasar tengah marak dalam persaingan tanpa kendali, dimana setiap orang berlomba mencapai tingkat kemakmuran maksimal dengan pengorbanan minimal. Ini adalah pakem ekonomi yang dihembuskan Adam Smith. Filosof yang terkenal dengan magnum opusnya The Wealth of Nations (1776) ini mengkritik sistem ekonomi feodal dan monopoli kerajaan yang menghambat inovasi dan pasar. Menurutnya, biarkan saja pasar bergerak liar tanpa intervensi pemerintah karena pada gilirannya bakal ada tangan tidak tampak (invisible hand) yang akan mengatur pasar.
Maka di hari 21 Desember 1844 itu, ketika Rochdale Society menjadi membangun komunitasnya yang anti pasar bebas, ada sesuatu yang terasa aneh. Prinsip ekonomi dengan mengedepankan demokratisasi dan kesetaraan modal antar-anggota menjadi anomali di tengah paham Smithian yang mendewakan doktrin ekonomi laissez-faires.
Smith, filosof yang amat mengutamakan moral itu, hanyalah sosok yang mungkin lengah bahwa ekses invisible hand pada gilirannya menjadi pintu masuk untuk melegalisasi kerakusan pelaku pasar. Seperti yang terjadi di abad sebelumnya, ketika para pedagang Eropa sudah saling sikut memperebutkan pasar jajahan di Timur.
Dalam kasus Indonesia, kita ingat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perusahaan dagang yang berdiri pada 1602 ini dibangun oleh 17 orang saudagar Belanda. “de heren XVII” dari De Staten General. Jika dibelakang hari “de heren XVII” dengan VOC nya menjadi penjarah rakus kekayaan bumi Indonesia, bisa dimaklumi karena penaklukan atas satu wilayah dan kontrol merupakan pakem utama dari ekspansi kolonialisme. Kala itu dakwah “Homo Homini Lupus” Thomas Hobbes (1588-1679) masih melekat kuat dan menjalar ke dunia perdagangan. Berkelindan dengan awak kapal VOC yang membawa para petualang, gelandangan politik, penjahat ekonomi dan orang-orang bernasib jelek dari seluruh Eropa yang mengucapkan sumpah setia kepada kerajaan Belanda.
Ketika CWS merger dengan Co-operative Retail Services dan menjadi The Co-Operative Group pada Mei 2000, berubah menjadi koperasi konsumen terbesar di Inggris dengan pendapatan tahunan £11 miliar (sekitar Rp220 triliun) per 2023. Co-op Group beroperasi dengan 2.400 toko makanan dan menyuplai barang ke lebih dari 6.000 toko lainnya.
Sampai di sini kita diingatkan bahwa parameter koperasi yang genuine sedikitnya memenuhi tiga syarat, adanya kepemilikan kolektif, pengelolaan demokratis dan fokus pada komunitas. Bagaimana dengan koperasi Anda.
