Sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan, dengan mengirimkan rata-rata 53 juta ton lebih dalam periode 1997—2002, tulis The Business Times.
DUA dasawarsa lalu, tahun 2003, Pemerintahan Megawati Soekarnoputri melarang ekspor pasir laut. Penghentian sementara itu ditetapkan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. Khususnya berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil. Negara tujuannya Singapura. Bersama Indonesia, Malaysia juga sempat jadi pemasok pasir laut. Negeri jiran itu sudah menghentikan ekspor galian C ini pada 2019.
Media negeri Singa itu,The Business Times, melansir bahwa Singapura merupakan salah satu negara yang menjadi pembeli pasir laut asal Indonesia sebelum adanya larangan ekspor 2003. Pasir yang bersumber dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau itu itu dikeruk dan digunakan untuk kegiatan reklamasi atau perluasan wilayah darat Singapura. Indonesia mengekspor “rata-rata lebih dari 53 juta ton/tahun antara tahun 1997 dan 2002,” tulis The Business Times.
Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari gugusan pulai sekitar Kepri dikeruk untuk melayani reklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta m³ per tahun. Pasir dijual dengan harga Sin$1,3 per m³, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar Sin$4. Dengan selisih harga itu, pihak Indonesia rugi sekitar Sin$540 juta atau Rp2,7 triliun per tahun.
Dari laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019 didapat klarifikasi bahwa Singapura adalah negara pengimpor pasir laut terbesar di dunia. Dalam hitungan PBB, sepanjang dua dekade, Singapura telah menyerap 517 juta ton pasir dari negara tetangganya (Indonesia dan Malaysia).
Setelah secara resmi ekspor pasir dinyatakan terlarang, tiba-tiba saja muncul PP No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Moratorium tahun 2003 itu dicabut. Keran ekspor untuk galian C itu dinyatakan terbuka. Artinya, diberi ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut. Alasannya, untuk mengendalikan sedimentasi di laut yang menyebabkan pendangkalan.
Pengerukan pasir laut diprioritaskan kapal isap berbendera Indonesia. Izin ekspor pasir laut hasil kerukan itu kemudian dipertegas Presiden dalam Pasal 9. Bahwa hasil pengerukan pasir laut dari aktivitas pembersihan sedimentasi bisa dijual ke luar negeri dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.
Entah kebetulan entah bukan, Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura tengah merencanakan dan merancang fase ketiga dari mega proyek Pelabuhan Tuas. Pekerjaan reklamasinya diharapkan akan selesai pada pertengahan 2030-an. Proyek itu tentunya membutuhkan pasir dalam jumlah yang sangat besar untuk menguruk kedalaman laut.
Selama ini, pengerukan pasir laut diizinkan untuk kebutuhan dalam negeri, terutama untuk pasir uruk tanah reklamasi. Sedangkan ekspor pasir laut sudah dilarang sejak 2003. Pemerintah SBY menguatkan status larangan tersebut pada 2007. Meski dilarang, pada kenyataannya ekspor masih marak. Penyeludupan. Alhasil, negara tak dapat apa-apa dari transaksi komoditas perdagangan ilegal itu.
Pasir laut yang sudah dikeruk boleh dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. Yakni reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sarana yang bisa digunakan untuk membersihkan sedimentasi itu adalah kapal isap, diutamakan yang berbendera Indonesia.
Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan. Pelaku usaha yang memiliki izin pemanfaatan pasir laut wajib membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).●