hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Regenerasi Pemimpin pada Pilpres 2024 dengan Filosofi Kearifan Timur

Regenerasi Pemimpin pada Pilpres 2024 dengan Filosofi Kearifan Timur

Peluangnews, Jakarta – Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lepas dari pusaran perpolitikan dunia, serta masalah yang terjadi saat ini dalam konteks yang berbeda. Pusaran perpolitikan dalam negeri, yakni regenerasi pemimpin dan ‘putra mahkota’ pada pilpres (pemilihan umum presiden dan wakil presiden) 2024.

“Orang tua tidak bisa melarang, tidak bisa mendorong (putra/putri) berpolitik. Kalau mendorong, dicap dinasti politik, meneruskan kekuasaan. Kalau mendukung, (orang tuanya) hanya bisa kasih restu. Semuanya tergantung (putra mahkota) mau berusaha dan belajar atau nggak. (Gibran/Gibran Rakabuming Raka, AHY/Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani) mau belajar nggak?” ujar penulis buku-buku kearifan timur, Jusuf Sutanto mengatakan kepada Redaksi, Jumat (27/10/2023).

Baca juga : Bansos Meroket 88% Jelang Pilpres(Buka di tab peramban baru)

Ia merefleksikan perpolitikan Indonesia jelang pemilu 2024pemilu 2024 dengan kisah 2.500 tahun lalu, ketika seorang putra mahkota digadang oleh orangtuanya untuk melanjutkan kerajaannya. Legendanya, saat putra mahkota tersebut masih bayi, sudah menunjukkan tanda-tanda seorang pria hebat.

Sebuah ramalan menunjukkan bahwa, jika anak itu tinggal di rumah, ia ditakdirkan untuk menjadi penguasa dunia. Tapi sang putra menolak karena ada masalah lebih penting setelah melihat orang menjadi tua, sakit, harus menderita, dan mati (peristiwa alamiah). Selama ini belum terpecahkan, betapapun bijak dan sekuat tenaga memerintah, hanya seperti setetes air di lautan.

“Bukan hanya Gibran (cawapres Koalisi Indonesia Maju/KIM), tapi (refleksi) untuk semua orang. ini kan persaingan antara dinasti kerajaan. Ibu Mega (presiden ke V RI) punya Puan Maharani (politisi PDI Perjuangan), SBY (Presiden ke VI RI, Susilo Bambang Yudhoyono) punya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Semua punya penerus dari takhta (kedudukan) orang tuanya. Itu tidak salah, asal mau belajar. Kalau wisdom (kebijaksanaan) Tiongkok, kuncinya pada belajar dan pembelajaran. Kalau tidak mau belajar, (takhta) ambruk,” kata Jusuf yang juga anggota Majelis Indonesia Council of Sinologists (ISC).

Baca juga : Banda Neira Pusaran Sengketa Kolonial & Pembiaran Era Merdeka  (Buka di tab peramban baru)

Kisah 2.500 tahun yang lalu, putra mahkota tersebut akhirnya melihat satu orang tua renta sambil menanyakan untuk apa sebenarnya manusia diciptakan dan hidup harus dijalani?. Meski usianya sudah lanjut, mukanya cerah, sorot matanya tajam, bicaranya nyaring.

Lalu dia (putra mahkota) memutuskan meninggalkan kerajaan, keluarga dan anaknya untuk mencari sendiri sebab-sebab manusia menderita dan mencari jalan keluarnya. Akhirnya putra mahkota menemukan jawabannya. Syaratnya tidak hanya membaca, mendengar, melihat, tapi semua harus dijalani sendiri seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.

“Makna dari proses pembelajaran (putra mahkota) relevan dengan filosofi (Tiongkok) Dàxué, berlaku pada raja sampai rakyat jelata. Daxue, ajaran pada level universitas. Kalau Xiǎoxuě, level SD – SMA. Daxue, artinya para pemimpin seperti Gibran, Puan, AHY harus membuat negara maju, aman. Filosofi Daxue, (calon pemimpin) harus bisa memperbaiki kondisi dunia, dan mulai dari diri sendiri. Tidak bisa memperbaiki dunia, kalau diri sendiri belum benar,” ungkap Juduf mantan dosen (2004 – 2017) psikologi timur pada fakultas psikologi Univ. Pancasila, Jakarta. (alb)

pasang iklan di sini