hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Reformasi Polri: Terima Kasih Jenderal Sigit!

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo/Dok. Ist

Oleh: Edy Mulyadi

JAGAT politik Indonesia yang hiruk-pikuk kian panas saja. Tak pernah kehabisan Drakor, bukan drama Korea. Tapi drama kotor dengan lakon Jokowi dan gerombolannya. Melelahkan, menjengkelkan.

Langkah Kapolri Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri pada 17 September lalu sungguh seperti tamparan tak terduga. Rakyat dan para analis langsung mengamuk: “Bagaimana bisa Sigit mendahului Presiden Prabowo? Ini menyalip agenda nasional. Diduga sebagai perlawanan terselubung!”

Seruan itu bergema di media sosial, kolom opini, hingga warung kopi pinggir jalan. Ada yang menyebutnya insubordinasi. Ada pula yang curiga sebagai cawe-cawe Jokowi kembali merebut kendali.

Tapi, bagaimana kalau kali ini kita melihat adegan di balik tirai. Kita setuju dengan kekesalan itu. Tapi bukan sepenuhnya. Justru, kita layak berterima kasih kepada Kapolri Listyo Sigit. Langkahnya itu bukan bom waktu, melainkan kunci yang membuka brankas rahasia. Sisi gelap ‘rencana jahat’ Geng Solo terhadap Prabowo.

Bayangkan saja: Surat Perintah Nomor Sprin/2749/IX/TUK.2.1./2025 itu, ditandatangani Sigit dengan tenang di Mabes Polri. Dan, itu seperti surat cinta yang salah alamat. Dia mendahului komite reformasi resmi dari Istana, yang katanya bakal dibentuk? Reformasi Polri yang diharapkan bakal membersihkan Polri dari akar-akar korupsi dan feodalisme.

Sigit Jadi Pahlawan

Tak pelak lagi, kritik tajam pun membanjir. Said Didu bahkan bilang ini perlawanan kepada Presiden. Pakar hukum pun menggeleng-gelengkan kepala. Tapi, lihatlah lebih dalam, seperti membaca novel detektif, saat pelaku kriminal tiba-tiba justru jadi pahlawan tak sengaja. Sigit, dengan tim 52 perwira elitenya yang dipimpin Kalemdiklat Polri, tak sekadar memetakan kondisi internal Polri. Dia juga membongkar fondasi rapuh yang dibangun Geng Solo.

Kita tahu, Geng Solo merujuk pada bekas presiden Jokowi dan gerombolannya. Kelompok yang selama ini berpura-pura setia pada transisi kekuasaan. Lengkap dengan jaringan intrik yang lebih rumit daripada plot sinetron. Mereka, bukan cuma para buzzer-Rp dan penikmat remah-remah saweran Jokowi dan oligarki. Orang-orang anggota Geng Solo ini juga para menteri provokator warisan rezim lama. Mereka menyusun agenda tersembunyi. Merancang jebakan halus untuk Prabowo.

Perlu dicatat, Polri saat ini bukan sekadar institusi biasa. Di era Jokowi, statusnya yang langsung di bawah Presiden membuatnya menjelma menjadi lembaga superbody. Kewenangannya nyaris tak terbatas. Dari penyelidikan, penyidikan, keamanan, lalu lintas, sampai politik praktis, juga centeng oligarki.

Dan yang lebih mencengangkan: anggarannya superjumbo. Di RAPBN 2026, Polri kebagian Rp 145,65 triliun. Bahkan, Polri sempat mengajukan alokasi hingga Rp 173,4 triliun. Bandingkan dengan Kemhan + TNI yang total anggarannya pada 2025 sebesar Rp 165,16 triliun. Dari angka itu, Kemhan hanya sekitar Rp 53,95 triliun, Mabes TNI Rp 11,17 triliun, TNI AD Rp 57 triliun, TNI AL Rp 24,75 triliun, dan TNI AU Rp 18,28 triliun. Benar-benar superbody dengan anggaran superjumbo!

Bayangkan, reformasi Polri yang seharusnya jadi andalan Prabowo untuk membersihkan institusi penegak hukum, tiba-tiba ‘dicuri’ oleh Listyo Sigit Prabowo. Kapolri ini, ironisnya, lahir dari inkubator yang sama. Geng Solo. Tapi inilah keajaibannya. Dengan membentuk tim internal lebih dulu, Sigit tak hanya mendahului; dia mengungkap kartu as musuh. Gerakan internal itu, yang kini bocor ke publik, menunjukkan betapa rapuhnya rencana Geng Solo. Yaitu upaya menyusup ke kabinet Prabowo lewat posisi kunci di Polri. Memprovokasi isu sensitif seperti RUU Perampasan Aset, hingga membangun chaos diam-diam untuk menjebak presiden baru.

Satirnya di sini begitu halus. Seperti pisau bedah yang memotong daging busuk tanpa darah berceceran. Sigit, yang sering dicap sebagai boneka Jokowi, justru jadi ‘pengkhianat’ tak disengaja terhadap tuannya sendiri. Dia membuka tabir: Polri bukan lagi benteng tak tergoyahkan bagi geng itu. Tapi medan perang di mana agenda jahat, seperti intrik provokasi di berbagai wilayah berkedok PSB, atau manipulasi dukungan politik terbongkar.

Rakyat jengkel karena Sigit mendahului presiden? Benar. Tapi, ini peluang emas Prabowo. Polah Sigit membuatnya bisa melihat ada sinyal darurat. Geng Solo masih menggeliat. Mereka merencanakan ‘bom molotov’ politik untuk merusak citra reformasinya.

Lalu, apa yang harus Prabowo lakukan? Pertama, dia harus segera menuntaskan agenda reformasi Polri. Libatkan masyarakat sipil independen yang kompeten, kredibel, dan berintegritas.

Kedua, audit mendalam dan menyeluruh terhadap jaringan Geng Solo di birokrasi. Pecat tanpa ampun siapa pun yang punya loyalitas ganda. Ketiga, reformasi Polri harus holistik. Dan yang terpenting, Prabowo gunakan momentum ini untuk narasi nasional. Umumkan pembersihan besar-besaran.

Akhirnya, sekali lagi: terima kasih lagi, Jenderal Sigit. Jenderal tak sengaja jadi pahlawan. Tapi di politik Indonesia yang penuh tipu daya, tak sengaja sering kali jadi hal yang paling tulus. Semoga Prabowo belajar dari ini. Bukan mendahului yang penting, tapi membongkar yang tersembunyi. Dan kita, rakyat? Mari kita jadi saksi. Bukan korban, dari drama kotor Geng Solo yang tak pernah rela usai ini. []

[Penulis adalah wartawan senior]

pasang iklan di sini