octa vaganza

Rasis

AKHIRNYA sang komedian menuju gedung putih, komentar media massa menyambut kemenangan  Tom Dobbs dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS). Ia, menyingkirkan para kandidat dari dua partai utama, Demokrat dan Republik.

‘’Aku muak dengan Demokrat dan Republik, mereka cuma tukang bohong, tukang menghabisi uang rakyat,’’ kata Dobbs yang secara independen nekad mencalonkan  diri sebagai presiden negara Adi kuasa itu. Dan Dobbs, pelawak yang tak diperhitungkan itu, secara ajaib menuju gedung putih. Rakyat tak percaya lagi dengan janji-janji bohong partai.

Begitu fantastiskah proses demokrasi di negeri yang masih sarat dengan rasisme itu? Nanti dulu, cerita itu tak sungguh ada. Tokoh bernama Dobbs, diperankan dengan apik oleh Robin Wiiliams, hanyalah kisah fiktif dari Hollywood. Tetapi film berjudul  Man of The Year produksi Morgan Creek tahun 2006 itu, mengajak penontonnya untuk tetap bermimpi. Bahwa segala kemungkinan bisa terjadi.

Sebagai produk industri, perfilman AS tumbuh fenomenal. Bukan hanya mesin ekonomi tetapi juga alat propaganda. Lewat tokoh Rambo atau Missing in Action, Chuck Norris, AS tampak perkasa dalam perang Vietnam, kendati  kenyataannya negeri adi kuasa itu kalah telak.

Film adalah sebuah ide kreatif yang liar. Banyak mimpi yang bisa diujudkan, termasuk memilih negro sebagai presiden, tetapi hanya untuk lelucon. Aktor Morgan Freeman beberapa kali memainkan peran sebagai Presiden Amerika berkulit hitam.  Ia bahkan berperan sebagai “Tuhan” dalam The Bruce Almighty, dan penonton melihat aksi “Tuhan” yang lucu itu sambil tertawa ngakak. Dalam Invictus, (2009), film garapan Clint Eastwood, Morgan Freeman memerankan Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan, yang berjuang amat keras melawan diskiriminasi warna kulit.  Hollywood boleh dibilang sudah bejibun memproduksi film yang berkisah tentang diskriminasi simbol warna kulit maupun agama itu . Yang terakhir mendominasi piala Oscar adalah The 12 Years A Slave  garapan Steve Mc Queen (2013). Film yang diambil dari kisah nyata di masa perang saudara 1860-an  itu bercerita tentang Solomon Northup, seorang tukang kayu dan pemain bola berbakat yang diculik untuk dijadikan budak. 12 tahun berselang setelah negro malang itu dipaksa menjadi budak di perkebunan, ia dibebaskan. Bersamaan dengan selesainya Perang Sipil yang menghapus perbudakan di Amerika.

Melalui alat propagandanya, Amerika melahirkan ratusan cerita tentang ketidakadilan dan penistaan terhadap kemanusiaan, negeri penyanjung tinggi hak azasi manusia itu ingin berkabar  bahwa rasisme hanya tinggal sejarah. Namun hal itu hanya terjadi di tataran diskursus politik. AS yang sebenarnya masih memeluk rasisme yang kental.  Ketika Barack Obama menjadi presiden pada 2008, kemenangan itu diklaim  dengan runtuhnya rasisme di AS. Realitanya, sikap rasisme warga AS terhadap warga kulit hitam di negeri itu meningkat pesat.

Tetapi, rasisme juga jurus ampuh untuk mendongkrak popularitas. Tengok saja Donald Trump, Presiden dari Partai Republik ini tak sungkan melontarkan berbagai isu sara dalam setiap kampanyenya. Berkali-kali  pebisnis ulung dan tokoh televisi itu  mendiskreditkan Islam sebagai bahaya laten bagi warga AS. Jika jabatan presiden ada di tangannya, Trump berjanji melarang kaum muslim masuk ke AS. Celakanya ia memang menang kendati secara kontroverisal.

Sebagai pengusaha yang menghalalkan berbagai cara, sikap Trump agaknya tidak berlebihan. Sebab, kata Malcom X, Anda tidak dapat memiliki kapitalisme tanpa rasisme.  (Irsyad Muchtar)

Exit mobile version