Ngaben di Bali biayanya sungguh mahal. Jangan salah, ongkos upacara kematian Rambu Solo di Tana Toraja lebih fantastis. Bergantung pada derajat sosial seseorang semasa hidupnya.
UPACARA Rambu Solo tak ada duanya. Hanya dikenal di masyarakat Tana Toraja. Tak ada di tempat lain di mana pun di Indonesia, bahkan di dunia. Tana Toraja (Tator) terletak di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan paling utara. Jaraknya dari Makassar setengah hari perjalanan, jika tak ada aral melintang. Makan waktu 8 hingga 10 jam, dan itu pun hanya bisa ditempuh dengan transportasi darat.
Ini upacara kematian yang unik. Makan waktu dan biaya yang tak kepalang. Rambu Solo itu upacara pemakaman. Jenazah belum dianggap ‘mati’ secara ‘sempurna’ sebelum diupacarakan. Ia diyakini hanya ‘sedang sakit’ atau ‘lemah’, sampai rangkaian panjang upacara adat selesai seutuhnya. Artinya, Rambu Solo juga dimaknai sebagai penyempurnaan kematian seseorang. Itulah ritual menghormati dan mengantarkan arwah seseorang (si mati) ke alam roh. Masyarakat Tator menyebutnya Puya.
Konvoi Te’dong
Te’dong (kerbau) diarak keliling kampung sebelum diadu dan dikurbankan. Selain pergelaran upacara inti adat khas Tator, dalam kesempatan ini juga ditampilkan berbagai pertunjukan kesenian. Semuanya berkelindan menjadi sebuah rangkaian yang saling terkait. Dengan panjangnya mata rantai ritual, upacara adat ini bisa memakan waktu cukup lama. Sehingga, biaya yang dikeluarkan untuk itu tidaklah sedikit. Semakin tinggi derajat seseorang yang meninggal, semakin besar dan mewah/megah pula penyelenggaraan upacara Rambu Solo ini.
Kalangan bangsawan wajib mengurbankan 25 hingga 100 ekor kerbau. Salah satunya harus pula kerbau bule—yang harganya di atas seratusan juta. Dihitung dari orang tersebut meninggal hingga pelaksanaan upacara Rambu Solo, bisa saja makan waktu tahunan. Sebab, segenap anggota keluarga besar perlu berkumpul. Tak boleh ada yang sampai tertinggal.
Upacara adat Rambu Solo diawali dengan pertunjukan kesenian. Prosesi kesenian ini bermakna sebagai bentuk penghormatan sekaligus doa bagi orang yang meninggal. Pertunjukan kesenian tersebut meliputi arak-arakan kerbau yang akan dikurbankan, penampilan musik daerah, tarian adat, adu kerbau, dan penyembelihan kerbau. Penyembelihan kerbau pun dilakukan secara khusus. Penyembelih hanya menggunakan sebilah pisau kecil, yang dalam sekali tebas kerbau itu akan mati.
Jumlah kerbau yang akan kurbankan bukan sedikit, tetapi dilakukan seara bertahap. Kerbau yang sudah mati ditebas selanjutnya dimasak dan dibagikan kepada seluruh masyarakat yang menghadiri upacara. Tidak hanya kerbau, babi pun menjadi salah satu hewan yang wajib dikurbankan dalam upacara ini. Maka, upacara adat Rambu Solo niscaya melekat dengan acara makan bersama. Wisatawan yang hadir, siapa pun, dipersilahkan bergabung untuk menikmati hidangan. Upacara digelar setelah acara makan-makan ini.
Prosesi Ma’popengkalo
Puncak acara puncak adalah ketika prosesi yang disebut Ma’popengkalo. Sebelum itu, keluarga sudah harus menyelesaikan beberapa tahapan. Proses yang digelar dalam empat bentuk ritual itu terdiri dari: Ma’tudan Mebalun, Ma’roto, Ma’popengkalo, Ma’palao. Dimulai dari Ma’tudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jenazah. Ma’roto adalah kegiatan dimana keluarga akan menghiasi peti jenazah menggunakan kain dari benang merah dan benang emas. Ma’popengkalo yaitu proses pengarakan jenazah hingga ke lumbung tempat penyemayaman.
Anggota keluarga berdiri di bawah kain merah dan akan bersorak sorai tanpa terlihat adanya kesedihan. Namun, akan ada salah satu keluarga yang mendadak menangis histeris ketika peti akan dinaikkan ke atas panggung atau lumbung untuk disemayamkan. Di atas panggung tersebut terletak pula patung Tao-Tao yang bentuknya menyerupai jenazah semasa hidup—lengkap dengan pakaian dan aksesorisnya. Tahapan terakhir adalah Ma’palao, yakni proses pengarakan jasad dari area rumah tongkonan hingga memasuki kompleks pemakaman.
Bentuk pemakaman pun berbeda-beda. Yang paling terkenal dari pemakaman di Tator ini adalah peti diletakkan di dalam goa yang cukup tinggi. Posisi peti diletakkan pun akan menentukan level atau derajat jenazah. Semakin tinggi posisi peti, artinya semakin tinggi derajat jenazah yang meninggal. Namun ada juga pengecualian di beberapa desa. Di Desa Kete’ Kesu, misalnya, jenazah yang derajatnya tinggi (keturunan bangsawan) akan ditempatkan di Tongkonan (rumah adat Tator) khusus untuk jenazah.
Baik lokasi akhir mayat di goa maupun di tongkonan, prinsipnya sama. Posisi peletakan peti mengisyaratkan posisi status sosial seseorang dengan jelas. Di Kete’ Kesu pun begitu. Semakin bagus dan besar Tongkonan berarti semakin penting derajat jenazah/trah bangsawan. Lain lagi di Desa Bori. Di sini penanda jenazah tersebut dari keluarga bangsawan atau bukan adalah dengan peletakan batu dan bentu batu. Ketinggian dan kelebaran diameter batu yang ditancapkan di halaman pemakaman menjadi pertanda derajat sang jenazah.
Semakin tinggi batu tersebut simbolik yang diletakkan di situ, selain menandakan derajat jenazah, juga berarti semakin banyak kerbau dan babi yang telah dikurbankan oleh keluarga jenazah. Peti pembawa jenazah tetap diletakkan di daerah pemakaman, tidak digotong ke tempat yang tinggi dan sulit di dalam goa.
Setelah peti diletakkan di tempat pemakaman, masyarakat setempat meyakini perjalanan roh dimulai. Kerbau-kerbau yang telah dikurbankan selama prosesi upacara adat itulah yang mengantarkannya ke alam roh. Semakin banyak kerbau yang dikurbankan, diyakini semakin cepat roh tersebut tiba di alamnya. Selanjutnya, tanduk-tanduk kerbau tersebut akan dipajang di depan pintu Tongkonan. Banyaknya jumlah tanduk yang diletakkan di sana mengisyaratkan tingginya derajat sang tuan rumah.
Satu hal menarik dari ritual agama primitif ini: mereka memiliki keyakinan (adanya) kehidupan setelah setelah mati. Pada sisi lain, upacara ini merupakan ajang show of force keluarga tentang martabat dan harga diri sebagai warga strata sosial berkelas.●(dd)