Semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan orang yang meninggal diharuskan hadir. Peti jenazah dilepaskan dari tongkonan pemberkatan. Para kerabat menangis histeris memeluk peti jenazah. Tahap selanjutnya, mayit ditidurkan di lobang tebing cadas.
INILAH upacara pemakaman adat Toraja, Sulawesi Selatan. Rambu Solo’ namanya. Upacara dihelat khusus sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada seseorang yang pernah hidup dan periode duniawinya berakhir. Ini juga ritual mengantarkan arwah si mayat ke alam roh. Secara harfiah, Rambu Solo’ berarti sinar yang arahnya ke bawah. Maka, Rambu Solo’ merupakan upacara yang dilakukan saat matahari terbenam.
Upacara Rambu Solo’ memakan biaya sangat besar. Sebab, upacara ini butuh penyembelihan kerbau dan babi yang jumlahnya tidak sedikit (Ma’tinggoro Tedang). Lamanya prosesi upacara 3—7 hari. Pemberian babi atau kerbau kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikatan kekeluargaan. Prosesi pemakaman atau Rante dilakukan di lapangan yang terletak di tengah kompleks rumah adat Tongkanan.
Skala upacara bergantung pada status orang yang meninggal. Ada upacara Dasili’ untuk strata paling rendah atau kematian anak yang belum bergigi. Upacara Dipasangbongi untuk rakyat biasa (Tana’ Karurung) hanya perlu waktu satu malam. Upacara Dibatang atau Digoya Tedong untuk kalangan bengsawan menengah (Tana’ Nassi), demngan menyembelih 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi. Upacara Rampasan untuk bangsawan tinggi (Tana’ Bulaan) dengan menyembelih 24—1oo ekor kerbau.
Bagi masyarakat adat Toraja, kematian merupakan hal yang sakral dan harus disempurnakan melalui berbagai upacara. Jika belum diupacarakan, status si mati terombang ambing tanpa kejelasan. Dalam upacara Rambu Solo’, semua kerabat yang memiliki hubungan darah dengan orang yang meninggal diharuskan hadir. Inilah saatnya untuk menunjukkan penghormatan pamungkas. Para kerabat dibantu warga sekitar bahu membahu membawa peti jenazah yang sudah diberkati.
Kata Rambu Solo’ dalam bahasa Toraja secara harfiah berarti “asap yang arahnya ke bawah”. Maksudnya, ritus-ritus persembahan (asap) untuk orang mati yang dilaksanakan sesudah pukul 12.00, ketika posisi matahari mulai bergerak turun. Rambu Solo’ disebut juga Aluk Rampe Matampu’, ritus-ritus di sebelah barat, karena sesudah pukul 12.00 posisi matahari berada di sebelah barat. Oleh karena itu ritus-ritus persembahan dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan, rumah adat Toraja.
Sesampai di lokasi upacara, peti jenazah kemudian dilepaskan dari tongkonan pemberkatan. Para kerabat menangis histeris memeluk peti jenazah di area pemberkatan. Rumah makam Tana Toraja selalu diletakkan di bagian selatan, karena arah selatan disimbolkan sebagai akhir kehidupan. Tongkonan berisi jenazah yang akan dilepas dalam upacara Rambu Solo’. Warga mengelilingi jenazah dan melakukan tarian ringan nan syahdu.
Dalam kesempatan yang sempat terliput kali ini, upacara Rambu Solo’ diadakan oleh salah satu komunitas adat Suku Toraja yang bernama Kete Kesu. Kete Kesu menempati Kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malening, Toraja Utara, sekitar 14 km dari Kota Rantepao. Acara sakrak ini bisa disaksikan wisatawan. Hanya dengan membayar Rp5.000 untuk wisatawan lokal dan Rp10.000 untuk wisatawan asing, pengunjung dapat masuk dan melihat cagar budaya di kawasan adat Kete Kesu.
Memasuki kawasan Kete Kesu, pengunjung akan disambut hamparan sawah yang luas, lengkap dengan beberapa ekor kerbau yang sedang digembalakan. Bagi masyarakat Suku Toraja, kerbau merupakan binatang yang dianggap suci. Binatang ini diyakini akan mengiringi arwah mereka yang telah mati. Semakin banyak jumlah kerbau yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’, mereka yakini bahwa perjalanan sang arwah akan semakin cepat pula menuju alam roh.
Sebuah tongkonan kecil diletakkan di tengah-tengah tongkonan besar. Tongkonan merupakan rumah adat Suku Toraja. Di desa adat ini terdapat sekitar 10 tongkonan–yang konon sudah berusia lebih dari 300 tahun. Di tongkonan kecil itulah diletakkan jenazah seorang tuan yang akan diupacarakan dalam Rambu Solo’.
Sementara jenazah dibiarkan berada di tengah-tengah tongkonan, kaum wanita sibuk mempersiapkan masakan untuk dikonsumsi para undangan yang datang. Masakan tersebut didominasi oleh olahan yang berasal dari daging babi atau kerbau. Babi merupakan masakan favorit yang paling ditunggu-tunggu oleh para tamu/warga Toraja. Tamu tersebut biasanya merupakan kerabat dekat yang sudah berkeluarga, dan setiap keluarga menempati satu tongkonan.
Sambil menunggu masakan selesai dibuat, para tamu yang hadir membuat lingkaran mengelilingi tongkonan yang berisi jenazah sambil bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, diselingi pembacaan mantra-mantra. Upacara dilanjutkan dengan pemberian khotbah dan upacara secara Kristiani yang dipimpin oleh seorang pendeta. Setelah khotbah selesai, kaum wanita yang sudah mempersiapkan makanan kemudian keluar dari dapur dan membawakan berbagai masakan ke tiap-tiap tongkonan.
Para tamu, kerabat dekat, dan wisatawan yang hadir secara bersama-sama dipersilakan menyantap makanan yang telah disediakan. Setelah makan siang, upacara dilanjutkan dengan sesi foto-foto. Para keluarga jenazah mulai dari yang muda sampai tua dipersilakan mengabadikan gambar bersama tongkonan berisi jenazah sang tuan yang sedang diupacarakan. Prosesi selanjutnya adalah mengelilingi jenazah sambil membacakan mantra-mantra pengantar.
Suasana sekejap berubah menjadi haru. Seorang tamu mendadak histeris tak sadarkan diri, trance; diikuti beberapa kerabat dekat yang juga menangis histeris. Peti jenazah lalu dilepaskan dari tongkonan hingga tersisa peti dan pancangnya. Peti tersebut kemudian dibawa ke lokasi makam yang berada sekitar 30 meter dari lokasi pemberkatan. Sebelum dibawa, peti berisi jenazah tersebut sengaja digoyang-goyangkan oleh semua tamu yang hadir, lalu dibawa menuju pemakaman final.
Sampai di lokasi pemakaman. peti tersebut tidak dikuburkan di dalam tanah. Dalam tradisi Suku Toraja, makam dalam peti justru dimasukkan ke dalam goa atau rumah kecil yang khusus menyimpan beberapa peti jenazah. Jika sudah sampai di tahap ini, sang roh dianggap sudah tidak berada lagi di dunia. Dia telah diantarkan menuju alam roh oleh kerbau-kerbau yang dikorbankan.
RANGKAIAN prosesi Pasar Kerbau berikut ini merupakan rangkaian acara Rambu Solo’ bagi seorang warga Muslim Toraja yang meninggal dunia. Selama Desember 2022, ada rangkaian pesta Rambu Solo’ di Tongkonan Rantela’bi’, Lembang Rantela’bi’ Kambisa, Kecamatan Sanggalla Utara, Kabupaten Tana Toraja. Rangkaian Rambu Solo’ dimulai 20 Desember 2022 dan berakhir 2 Januari 2023. Jadwal upacara tersebut sebagai berikut:
1. Mangrimpun Tedong/Ma’pasa’ Tedong (20/12). Acara inventaris kerbau telah disepakati keluarga sebelumnya. Semua kerbau dikumpulkan di halaman tongkonan tempat persemayaman almarhum.
2. Ma’karu’dusan (22/12). Salah satu rangkaian acara ma’karu’dusan adalah memotong dua ekor kerbau. Kerbau yang akan disembelih biasanya dibiarkan berdiri dan leher kerbau ditebas secepat mungkin. Secara bersamaan, seekor babi juga disembelih.
3. Ma’pasilaga (23/12). Acara Mapasilaga Tedong ini dilakukan sebelum upacara adat di mulai. Ajang adu kuat dua kerbau ini punya makna tersendiri yaitu menghapus duka keluarga yang kehilangan orang paling berarti untuk selamanya.
4. Mellao Alang (24/12). Menurunkan atau memindahkan jenazah dari tongkonan ke salah satu lumbung. Jenazah tersebut disemayamkan selama tiga hari tiga malam di lumbung sampai acara ma’pasilaga.
5. Manambun (25/12). Membungkus kembali jenazah dalam upacara adat ini dibalut dengan besi.
6. Mangriu’ Batu/Mangosok (26/12). Menarik batu adalah salah satu dari rangkaian upacara lalu mendirikannya.
7. Ma’pasanglo’ (27/12). Proses mengarak jenazah dengan uraian kain yang memanjang mengelilingi kampung oleh warga Toraja.
8. Menerima Tamu (28/12). Inti dari tahapan upacara Rambu Solo’. Setiap rombongan yang datang diharuskan membawa kerbau atau babi sebagai tanda penghormatan kepada jenazah.
9. Mantunu (31/12). Membakar hewan yang dikorbankan.
10. Meaa/Ma’kaburu’ (2/1).●(Zian)