Usulan write off kredit macet usaha mikro kecil di bawah Rp5 miliar dinilai dapat menyehatkan neraca bank dan sekaligus membantu pelaku usaha. OJK pun sudah memberi lampu hijau.
Pandemi Covid-19 yang belum usai berdampak pada sulitnya pelaku usaha mikro kecil (UMK) untuk bertahan. Jangankan mengembangkan usaha, untuk melunasi angsuran kredit/pembiayaan saja mereka mengalami kendala. Untuk mengatasi hal tersebut, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mengusulkan write off (pemutihan) kredit macet pelaku usaha akar rumput senilai Rp5 miliar ke bawah.
“Penghapusan kredit macet dan akses untuk mendapatkan kredit baru bagi UMK dengan nilai Rp 5 miliar ke bawah merupakan solusi penting untuk mendongkrak pertumbuhan kredit,” ungkap Sunarso, Ketua Umum Himbara.
Gayung pun bersambut. Usulan Himbara mendapatkan dukungan dari Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Teten menyetujui usulan tersebut karena bisa membantu pelaku UMK mendapatkan pinjaman modal kembali untuk meneruskan usahanya.
Teten berharap usulan Himbara itu dapat disetujui karena akan sangat bermanfaat dan dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Dampak pemutihan kredit macet akan sangat positif bagi pelaku usaha UMK,” ungkap Teten.
Melansir data Kemenkop UKM, saat ini usaha mikro berjumlah 64,60 juta unit atau 98,67% dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan usaha kecil berjumlah 798.679 unit (1,22%), usaha menengah 65.465 unit (0,10%), dan usaha besar 5.637 unit (0,01%).
Pemutihan atau penghapusbukuan merupakan hal lumrah di industri jasa keuangan seperti perbankan atau koperasi. Mengutip OJK-Pedia, hapus buku adalah penghapusan pinjaman macet yang tidak dapat ditagih lagi dari neraca (on-balance sheet) dan dicatat pada rekening administratif (off-balance sheet).
Secara akuntansi, upaya hapus buku kredit macet tersebut dibebankan pada akun penyisihan penghapusan aktiva produktif. Meskipun pinjaman macet tersebut telah dihapusbukukan, hal ini hanya bersifat administratif sehingga penagihan terhadap debitur tetap dilakukan. Dengan kata lain, debitur tetap mempunyai kewajiban untuk membayar utangnya. Selanjutnya, hasil tagihan pokok pinjaman dibukukan ke rekening penyisihan penghapusan aktiva produktif, sedangkan tagihan bunga dibukukan sebagai pendapatan lain.
Tujuan utama pemutihan adalah memperbaiki kualitas neraca perkreditan bank. Pasalnya, bank dapat mengeluarkan pencatatan sejumlah hal dari neraca bank di antaranya angka piutang kredit yang tidak menghasilkan, tunggakan pokok kredit, bunga, dan denda. Dampaknya, tingkat NPL menurun sehingga meningkatkan nilai kesehatan bank.
Dukungan pemutihan kredit macet UMK dilontarkan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah Redjalam. Menurutnya, kebijakan penghapusbukuan kredit macetakan menjadikan neraca bank lebih elok. “Write-off adalah hal yang wajar dilakukan oleh bank dalam rangka memperbaiki neraca keuangan,” kata Piter.
Kebijakan penghapusbukuan kredit bermasalah, kata Piter, bisa menjadi pendamping program restrukturisasi kredit. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, bisa dipastikan banyak bank yang mengalami tekanan kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Juni 2021, rasio NPL gross tercatat sebesar 3,24% dan NPL net sebesar 1,06%. Meski masih dibawah ketentuan, namun NPL tersebut perlu dicermati untuk memastikan pertumbuhan usaha yang berkelanjutan.
Menanggapi usulan penghapusbukuan atas kredit bermasalah UMK tersebut, Anto Prabowo, Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK menyebut tidak perlu ada aturan atau standar baru dari OJK karena aturan tersebut sudah ada dalam Peraturan OJK (POJK). “Setiap bank bisa melakukan write off itu adalah keputusan korporasi masing-masing, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam POJK tersebut,” ujar Anto.
Untuk diketahui, kebijakan mengenai hapus buku sebenarnya telah diatur dalam POJK No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, pasal 67-70.
Dalam aturan itu, disebutkan bahwa bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Kebijakan tersebut harus disetujui dewan komisaris dan direksi.
Selanjutnya, hapus buku hanya dapat dilakukan terhadap penyediaan dana yang telah didukung perhitungan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sebesar 100 persen dan kualitasnya telah ditetapkan macet. Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan dana (partial write off).
Kini tinggal kebijakan masing-masing bank untuk menindaklanjuti lampu hijau dari OJK tersebut. Meski pada praktiknya, upaya pemutihan kredit macet lebih mudah dilakukan bank swasta daripada bank BUMN. Sedangkan bagi debitur, yang penting adalah bisa meminjam kembali ke bank untuk melanjutkan usahanya. (Kur).