Sebagai makhluk follower, manusia mudah terpengaruh. Emosi ini yang biasanya dimainkan oleh sebuah produk. Cari bintang iklan yang sesuai dengan emosi massa, suruh dia beriklan mengajak agar memakai produk tertentu.
STRATEGI menjual itu disebut marketing. Pelakunya dinamakan marketer atau lebih lazim disebut sales. Istilah SPG (Sales Promotion Girl) sudah sangat familiar di telinga kita. Saking familiarnya, laki-laki yang jadi sales pun disebut SPG; padahal yang bener adalah SPB (Sales Promotion Boy). Siapa pun tentu sadar, menjual adalah ruh dari sebuah usaha. Anda mungkin saja punya produk bagus. Tapi, mudah dibayangkan apa jadinya jika produk itu tak bisa diual, bukan?
Usaha apa pun akan sia-sia belaka tanpa marketing. “Bagaimana mereka mau beli, tahu aja nggak,“ kata konsumen. “Lebih dari itu, bukan hanya usaha yang harus dijual, diri anda pun (sebenarnya) harus ‘dijual’.” Ya.. kita harus ‘menjual’ diri supaya kita tahu berapa harga diri kita. Tanpa marketing diri, orang lain tidak akan tahu bahwa kita cukup pintar, punya kemampuan dan hebat. Inilah pentingnya marketing, advokasi yang bisa mengubah presepsi umum.
Coba simak jelang kesibukan pemilu dan pilkada. Begitu banyak orang ‘menjajakan’ diri, walaupun kadang over action. Mereka mungkin bisa ‘dimaafkan’ jika membesar-besarkan hal kecil tentang (yang dianggap) nilai pus dirinya; tapi terlarang keras berdusta. Membohongi masyarakat adalah tindakan dungu. Masih ingat bunyi iklan “Kayaknya nggak sulit-sulit amat ngatasi masalah macet dan banjir Jakarta”?Buktinya apa? Omdo, kan?
Bagi perusahaan, marketing merupakan pos (pengeluaran) yang gendut. Sudahlah besar, dibayar di awal pula. Itu semua untuk hasil yang tanpa kepastian. Tidak ada satu ilmu pun yang bisa memprediksi hasil akurasi hasil marketing dengan tepat. Juga tidak ada satu teori pun yang bisa menjadi acuan sakti mandraguna untuk mengukur implementasi marketing. Semuanya hanya berangkat dari suatu keyakinan, di samping trial and error. Mencoba, salah, mencoba lagi.
Marketing itu mahal. Karena mahal, maka diusahakanlah kiat mendekat kepada target secara riil, non-asuntif. Kalau tidak demikian, anda hanya akan buang-buang uang. Tapi kalau sebuah marketing berhasil, bisa dipastikan omzet meledak, penjualan meningkat dan pamor suatu produk menjadi hebat. Marketing yang sukses efeknya bisa berlaku untuk waktu yang lama. Apalagi kalau kualitas produk tersebut mampu ‘bicara’, dalam arti memarketingkan diri. Atau, beberapa konsumen loyal ambil inisiatif mengiklankannya dari mulut (tanpa dibayar).
Sebagai makhluk follower, manusia mudah terpengaruh. Emosi ini yang biasanya dimainkan oleh sebuah produk. Cari bintang iklan yang sesuai dengan emosi massa, suruh dia beriklan mengajak agar memakai produk tertentu, hasilnya… kulit mulus nan halus nan wangi nan bersih nan segar dan seterusnya. Padahal, kulit dia mulus bukan karena memakai produk tersebut; emang dari sononya sudah mulus.
Repotnya, banyak yang terobsesi. Orang kulitnya gelap ikut memakai produk pemutih. Apa jadinya? Tetap aja gelap. Tapi ini dahsyat, efeknya luar biasa. Kualitas dan khasiat bisa jadi nomor dua, yang utama adalah bagaimana suatu produk bisa laku. Pemenang bukan yang terbaik tapi yang terjual paling banyak, begitu aksioma dalam dunia marketing. Iklan seakan menjejali alam bawah sadar kita secara masif dan kontinyu. Buntutnya kita sadar bahwa… mau pinter harus minum jamu tolak angin, sakit kepala di-bodrek aja.
Afirmasi iklan sungguh menjadi trend setter anak-anak. Mereka dengan reflek mudah menirukan kata-kata iklan. Kata-kata tertentu seolah milik orang tertentu, itu juga iklan diri. Misalnya, kata ‘ndeso’, kembali ke laptop, anda akan ingat si Tukul, ‘prikitiwwww’ tanpa ada Sule pun orang sudah membayangkan si Sule. Kalau disebut kata jarum, orang akan lebih ingat rokok, bukan jarum jahit. Gudang garam bukan gudangnya garam tapi pasti rokok. Beli Rinso padahal Daia, beli Sasa dikasih Aji No Moto, dan seterusnya.
Ini adalah contoh bagaimana hebatnya sebuah produk mampu mengiklankan dirinya. Image tertancap dan melekat di alam bawah sadar konsumen. Konsumen fanatik menjadi sasaran empuk sebuah produk. Pokoknya, beli sabun mandi ya Lifebouy, odol ya Pepsodent, dan seterusnya; padahal dari segi fungsi dan khasiat mungkin tidak jauh beda dengan produk yang telah telanjur jadi branch mark itu.
Konsumen merasa tidak afdol kalau tidak makai produk tertentu, dan produk tersebut diwariskan secara turun-temurun. Itu cerita marketing kelas wahid yang telah sukses. Bagi bisnis pemula, marketing merupakan masalah tersendiri. Di samping memerlukan dana yang besar, diperlukan pula inovasi marketing. Sulit memang, tapi jangan dibuat sulit. Banyak sarana marketing bagi pemula dan bisa dibilang murah. Antaranya brosur, flier, spanduk, iklan mini/baris di majalah. Memang ini tradisional, tapi nyarinya juga yang murah.
Gak perlulah usaha UKM pemula milih marketing yang wah, seperti iklan di TV, baliho pinggir jalan. Coba saja iseng-iseng tanya harga berapa biaya sewa baliho pinggir jalan ukuran 1,5 x 3 meter. Tak kurang dari Rp450 juta per tahun. Busyet! Yang jelas, tidak ada yang tahu iklan (jenis) mana yang akan dilirik orang. Karenanya, kalau beriklan, jangan gunakan banyak cara. Coba mengaktifkan diri di semua media. Siapa tahu orang nyantol lewat brosur atau lihat spanduk atau tidak sengaja lagi baca majalah.
Pertanyaannya, apa media untuk marketing yang paling jitu? Jawabnya: tidak ada! Sebab, semuanya mungkin dan tidak mungkin. Orang tahu di TV bagus karena telah mencoba di radio gagal, atau karena menyadari tv itu jangkauannya sangat luas. Brosur bagus karena spanduknya luntur, dan sebagainya. Maka, ilmu marketing yang paling jitu itu adalah COBA, COBA dan COBA. Silakan anda coba.
Apa yang kita yakini, lakukan! Tapi sebaiknya selalu diingat pesan “selalu diukur” agar tahu efektivitas iklan kita. Bidang marketing atau sales ini yang paling banyak membutuhkan karyawan. Bidang ini juga yang paling bepeluang untuk seseorang menjadi kaya. Anggapan bahwa marketing itu rendahan adalah ujian pertama untuk sukses sebagai pegiat marketing. Selamat beriklan. Jangan takut mencoba. Kata kuncinya, sekali lagi perlu ditegaskan: COBA.●(Nay)