JAKARTA—Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan hasil uji formil dan materiil Undang-Undang Cipta Kerja dengan nomor 91/PUU-XVIII/2020, Kamis (25/11/21).
Dalam amar putusannya, MK menyatakan: UU Cipta Kerja Inkonstitusional secara bersyarat. Itu artinya harus dilakukan perbaikan daam kurun waktu dua tahun.
Ketua MK Anwar Usman ketika membacakan keputusan mengatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan.
Proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
“Dalam pertimbangan putusan, MK menilai, metode penggabungan dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi,” kata Anwar.
Dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan kepada publik. Naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, akses terhadap UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis.
MK juga menilai, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sesuai dengan sistematika pembentukan undang-undang.
Terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pascapersetujuan bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Majelis Hakim MK menegaskan, bahwa obesitas regulasi dan tumpang-tindih antar-UU tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku untuk menyusun undang-undang.
Hanya saja MK dapat memahami, metode omnibus law bertujuan untuk mengakselerasi investasi dan memperluas lapangan kerja.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan meskipun demikian tidak berarti demi mencapai tujuan tersebut lantas dapat mengesampingkan tata cara atau pedoman baku yang berlaku.
Karena tujuan dan cara, pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan dalam meneguhkan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional.
“Apabila dalam waktu dua tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen,” ucap Suhartoyo.
Adapun beberapa permasalahan dalam UU Cipta Kerja adalah kesalahan pengutipan pasal, yaitu Pasal 6 UU Cipta Kerja yang mengutip Pasal 5 ayat (1). Dalam Pasal 5 tidak memuat kutipan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6, kemudian terdapat berbagai pergantian istilah, seperti “direktur” menjadi “direksi” pada halaman 390 Pasal 153D ayat (2) RUU Ciptaker yang dibandingkan dengan halaman 613 Pasal 153D ayat (2) UU Ciptaker, serta berbagai istilah lainnya
Selain itu, MK juga melarang pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam putusan ini terdapat empat hakim MK yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka adalah Anwar Usman, Arief Hidayat, Manahan M P Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh.
Alasan keempat hakim konstitusi itu menyatakan dissenting opinion karena menilai pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law merupakan suatu terobosan hukum yang boleh dilakukan.
Mereka menilai, dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun tidak secara eksplisit mengatur, membolehkan, atau melarang metode omnibus law.
Adapun, sidang putusan ini merupakan hasil uji formil dan materiil dari gugatan yang diajukan oleh enam pemohon perkara. Pemohon I, karyawan swasta/mantan buruh PKWT bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas. Pemohon II, mahasiswa bernama Ali Sujito. Pemohon III, Muhtar Said yang berprofesi sebagai dosen.
Pemohon IV, Migrant CARE yang diwakili oleh Wahyu Susilo selaku Ketua, dan Anis Hidayah selaku Sekretaris. Pemohon V, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat yang diwakili Yuzirwan Rasyid Datuak PGP Gajah Tongga selaku Ketua Umum, dan Yulizal Yunus Datuak Rajo Bagindo selaku Sekretaris Umum. Pemohon VI, Mahkamah Adat Alam Minangkabau yang diwakili oleh Irwansyah Datuak Katumanggungan selaku Ketua (Imam).