Mereka berseru, “Kami butuh hutan”. Sebuah Yayasan mengajukan tiga opsi agar Punan Batu tetap berpola hidup melestarikan hutan. Ketiganya bergantung pada jalan tengah antara pemerintah, perusahaan, dan para pemburu-peramu itu.
Sebagian warga Punan Batu hidup di hutan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Punan Batu adalah sebutan untuk kelompok terakhir di Kalimantan yang menerapkan cara hidup manusia prasejarah. Yaitu berburu-meramu di dalam rimba. Terminologi batu melekat dengan identitas mereka karena mereka kerap tinggal di dalam ‘batu’, istilah yang dalam bahasa lokal bermakna goa.
Mereka dapat bertutur dalam bahasa Indonesia. Hidup dalam tradisi berladang. Mereka hanya mukim delapan sampai sembilan hari di satu goa atau pondok. Selanjutnya, berjalan ke goa atau pondok lain, yang rata-rata berjarak 4,5 kilometer. Populasi mereka kini tidak sampai 100 orang. Dicemaskan akan ‘tinggal nama’ bila pemerintah tidak segera mengatasi persoalan serius menyangkut hak hidup mereka.
Salah satu kelompok pertama penghuni Pulau Kalimantan ini bertahan hidup nyaris tanpa perhatian pemerintah dan masyarakat. Ruang hidup mereka kini semakin sempit. Ekspansi perusahaan kayu dan ladang sawit milik korporasi menyulitkan umbi-umbian liar bertumbuh dan menyempitkan ekosistem binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kura-kura, dan kera.
Banyak data ilmiah menunjukkan orang-orang Punan Batu sudah ribuan tahun menjadi pemburu-peramu di Kalimantan, tanpa pernah beralih ke pola hidup berladang. Sejumlah temuan tentang Punan Batu itu lebih kuat dibandingkan kelompok pemburu-peramu Mlabri di Thailand, Guaja di Amazon, dan Siriono di Bolivia, yang disebut sempat beralih ke cara hidup berladang.
Mereka tidak pernah menguasai teknik menanam ataupun memelihara ternak. Punan Batu hidup di lokasi yang tidak benar-benar terpencil. Sejumlah pondok yang mereka bangun di hilir Sungai Sajau beberapa tahun terakhir dapat dicapai setidaknya selama tiga jam perjalanan dari Tanjung Selor, pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Utara.
Di Pulau Kalimantan, populasi Suku Dayak sekitar 6.000.000 jiwa, Suku Banjar, Suku Agabag awkitar 20.000 jiwa, Suku Punan antara 19.000 dan 20.000 jiwa, Suku Kutai, dan Suku Melayu merupakan kelompok dominan. Dayak Punan merupakan suku yang memiliki segala “kelebihan”. Mereka dikenal sebagai suku yang paling tangguh, hebat saat berperang dan berburu, bertahan hidup di hutan.
Mereka bertahan hidup bergantung pada alam. Mereka biasa berburu hewan liar dan memakan sayur-sayuran dari hutan yang biasa dipetik dan dimakan langsung. Bahkan untuk daging buruan yang mereka dapat biasanya hanya dijemur di bawah terik matahari hingga menjadi daging asin atau dendeng. Saat ini, kebanyakan suku Dayak Punan sudah hidup secara modern.
Eksistensi populasi ini bahkan belum diakui negara. Nama Punan Batu pun tidak masuk dalam daftar Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kementerian Sosia Pengabaian (oleh pemerintah) merupakan pangkal ketertinggalan mereka dari kelompok masyarakat lain. Mayoritas orang Punan Batu tidak bisa baca-tulis, kecuali sebagian pemuda yang belakangan ini rutin keluar hutan untuk menjual kayu dan madu. Pengabaian itu juga yang membuat orang-orang Punan Batu yang selama ini sakit tidak pernah mendapat pengobatan.
“Orang kami zaman dulu walau tidak ada beras, dia bisa makan. Pelanduk, kijang, payau, monyet, babi, burung masih banyak. Sekarang susah sekali mencarinya. Dalam sehari belum tentu dapat,” kata seorang Punan bernama Manik. “Jadi kalau tidak ada beras, kami kepepet. Habis makanan kami. Dulu biar tidak ada beras, dua sampai tiga bulan tetap bisa makan,” tuturnya.
Pangkalan adalah satu-satunya pelarian ketika mereka tidak menemukan babi, rusa, landak, kera, dan ubi-ubian. “Hidup seperti ini menderita. Dulu tidak ada orang menggesek (memotong) kayu. Hanya mencari ubi. Sekarang dapat satu kubik dipikul. Memikul kayu itu berat. Seperti itulah beban kami. Kalau ada beras baru kami bisa hidup,” ujar Manik. Isu hutan jadi krusial karena terdapat tiga perusahaan di kawasan hutan yang biasa dijelajahi Punan Batu.
Orang-orang Punan Batu menjelajah wilayah hutan yang luas. Walau begitu, ruang jelajah untuk mencari sumber makanan itu kini semakin sempit. Sebagian wilayah jelajah mereka sejak masa silam itu sekarang merupakan area konsesi dua perusahaan kayu: PT Inhutani I (Persero) Unit Manajemen Hutan Sambarata dan PT ITCI Kiani Hutani. Data ini merujuk pemetaan wilayah yang baru-baru ini dilakukan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Luas hak kelola PT Inhutani I Sambarata mencapai 106.020 ha atau nyaris dua kali luas DKI Jakarta. Sementara hak kelola PT ITCI Kayan Hutani seluas 218.317 ha. PT Inhutani I merupakan perusahaan milik negara yang hak kelola hutannya tidak hanya berada di Berau, tapi juga beberapa daerah lainnya. Kayu yang mereka proses berasal dari pohon khas Kalimantan, seperti bengkirai, meranti, dan keruing. Kayu produksi PT Inhutani I, termasuk yang berasal dari ruang hidup Punan Batu, diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dan Asia Timur.
Dari 96 orang Punan Batu yang hidup nomaden di hutan, Kabupaten Bulungan, tidak satu pun yang pernah mengeyam pendidikan. Namun sebelum beranjak ke pendidikan, kesehatan, dan perihal lainnya, persoalan ruang hidup semestinya lebih dulu dituntaskan, kata Taufiq Hidayat, peneliti YKAN.
“Yang berkali-kali mereka sebutkan adalah ‘Kami butuh hutan’,” ujar Taufiq. YKAN, lembaga yang digawangi Taufiq, yang secara resmi telah menjalin kerja sama dengan Pemprov Kaltara, mengajukan tiga opsi yang dianggap memungkinkan Punan Batu mempertahankan hutan. Ketiganya bergantung pada jalan tengah antara pemerintah, perusahaan, dan para pemburu-peramu itu.
Skenario pertama menyangkut prinsip nilai konservasi tinggi. “Dalam skema ini, masyarakat Punan Batu dipastikan masih bisa tinggal di wilayah konsesi, tapi hak atas hutan berada di tangan perusahaan. Ini diambil jika negosiasi berlangsung agak sulit,” tuturnya. Dalam skema hidup nomadennya, orang Punan Batu tinggal di dalam goa dan sejumlah pondok yang mereka bangun dengan kayu dan terpal.
Opsi kedua mengacu pada skema perhutanan sosial. “Ini opsi yang moderat, Artinya Punan Batu dan perusahaan sama-sama mengelola hutan dengan kepentingan masing-masing. Ada jalan tengah dan perjanjian,” kata Taufiq. Opsi terakhir adalah hutan adat. Ini merupakan skema paling ideal untuk menjamin hak Punan Batu atas ruang hidup mereka. Namun, jalan menuju kesepakatan soal hutan adat akan terjal.
Nasib Punan Batu, ujar Dollop Mamung, laki-laki paruh baya dari kelompok Punan Tubu, semestinya tidak serupa dengan Punan lainnya yang lebih dulu disentuh program pembangunan. “Tahun 1970-an banyak betul orang Punan Tubu yang dimukimkan ke perkampungan. Hidup mereka jadi susah karena tidak punya hutan. Hutan lebih mampu kasih mereka makan daripada harus tunggu bantuan,” kata Dollop Mamung.●(Zian)