JAKARTA—Tajuddin Hasan (18) memangku laptop miliknya di bangku Lantai 6 Gedung Perpustakaan Nasional. Murid Kelas III SMAN 111 Jakarta ini baru saja turun dari Lantai 21 untuk mencari bahan menyelesaikan tugas sekolahnya.
Dia seperti saya harus melalui check in memakai barcode untuk bisa memasuki ruang baca umum yang dibatasi kuotanya. Kalau ruang dianggap sudah memenuhi kuota, maka pengunjung berikutnya menunggu di luar, sampai ada yang keluar.
“Cukup bagus dan cukup nyaman. Hanya saja sekarang untuk internetan kalau sudah penuh harus turun ke bawah,” kata Tajuddin kepada Peluang, Kamis (25/6/20).
Pada masa Pembatasan Sosial Berskala besar Transisi Perpustakaan Nasional sudah buka sejak 11 Juni lalu dengan hanya seribu pengunjung per hari. Jam bukanya juga bertahap seminggu pertama sejak pukul 8 pagi hingga 15.00, pada minggu berikutnya diperpanjang hingga 17.00.
Untuk bisa masuk, pengunjung melalui bilik disinfektan, dites suhu badan, cuci tangan selain harus daftar dengan cara daring untuk mendapatkan barcode. Begitu keluar juga harus menyerahan barcode.
Tingginya minat baca seiring dengan diservikasi yang dilakukan Perpustakaan Nasional yang berlokasi di Jalan Merdeka Selatan ini dengan menghadirkan ruang baca khusus untuk anak, ruang bioskop mini untuk menonton koleksi video, serta fasilitas untuk membaca mikrofilm, selain ruang baca umum.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando dalam Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan Komisi X DPR pada Selasa 23 Juni lalu memaparkan sejumlah capaian positif yang diraih Perpusnas.
Yang pertama, terjadi kenaikan angka indeks membaca dari semula 52,92 pada 2018 menjadi 53,84 pada 2019. Kedua peningkatan signifikan penyerahan karya cetak dan karya rekam (KCKR), jika sebelumnya hanya 68.824 (142.660 eksemplar) pada 2018, mengalami lonjakan menjadi 324.021 (396.198 eksemplar) pada 2019.
“Kami menerapkan strategi untuk tidak memberikan nomor ISBN baru kepada penerbit jika belum menyerahkan hasil terbitannya kepada Perpusnas,” urai Syarif Bando.
Dan capaian positif lainnya adalah tingkat kepuasan pemustaka dari 4,0 naik menjadi 4,39. Sedangkan angka kunjungan yang semula 5.986.466 pada 2018, melonjak menjadi 9.793.174 pada 2019.
Dalam kesempatan RDP tersebut, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) mengajukan usulan penambahan anggaran pada 2021 sebesar Rp252.566.276.500.
“Angka tersebut adalah kebutuhan untuk mengejar target pengembangan perpustakaan dan literasi yang terpotong akibat Covid-19 di 2020. Kami meyakini bahwa literasi memiliki kontribusi positif dalam menciptakan inovasi serta keterampilan kecakapan sosial,” urai Kepala Perpusnas.
Sementara itu, Putra Nababan, salah satu anggota Komisi X DPR-RI lainnya, menyarankan agar Perpusnas membuat program-program kegiatan berbasis virtual atau online mengikuti perkembangan zaman.
“Perpusnas jangan lagi berpikir sebagai carrier atau pembawa informasi, tetapi harus berani berpikir sebagai supplieratau pemasok kebutuhan informasi melalui bahan bacaan,” pesan Putra Nababan.
Kemegahan gedung baru fasilitas layanan perpustakaan dianggap sebagai simbol kebangkitan budaya literasi di Indonesia. Namun, kemegahan tersebut harus dibarengi dengan keseriusan dan dukungan dari Perpusnas dan perpustakaan di tiap daerah dalam menggalakkan literasi (Irvan Sjafari).