hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Proyeksi Ekonomi Pemerintah Kelewat Lebai

FUAD Bawazier, Menteri keuangan era Presiden Soeharto mengatakan proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah kerap kali meleset terlampau tinggi dari realisasinya. “Saya semakin tidak percaya pada prediksi angka pertumbuhan ekonomi versi petinggi negeri yang hampir selalu terlalu tinggi dan kemudian hampir selalu juga salah meski sudah berkali-kali diralat. Angka yang terakhir pun masih salah. konsisten salah ketinggian,” ujarnya dalam sebuah diskusi.

Misalnya, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 3,7 persen sampai 4,5 persen sepanjang tahun ini. Angka ini merupakan revisi kedua dari target semula 4,5–5,5 persen. Ramalan pertumbuhan ekonomi yang terlampau optimis itu, bagiFuad, merupakan bentuk propaganda untuk menghimpun kepercayaan masyarakat dan investor.

“Saya lihat, bisa untuk tujuan politis, menjaga nilai tukar rupiah, menjaga optimisme masyarakat, investor, dan lain-lain,” tuturnya. Namun, proyeksi itu tidak didukung kondisi riil di lapangan dimana UMKM mulai menjerit, sektor pariwisata banyak yang tumbang, dan sebagainya. Oleh karenanya, ia memprediksi realisasi pertumbuhan ekonomi jauh (lebih rendah) dari perkiraan pemerintah.

Fuad lebih setuju pada angka proyeksi yang disampaikan Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan; yakni 2 persen pada kuartal II 2021, lalu minus 0,5 persen pada kuartal III dan IV 2021. “Saya menduga pertumbuhan ekonomi itu akan turun jauh daripada prediksi pemerintah karena indikasinya pertumbuhan kredit 2021 paling tinggi Cuma satu persen,” ujarnya.

Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, juga memprediksi target pertumbuhan ekonomi pemerintah pada tahun ini tidak akan tercapai. “Pada April kami sudah prediksi di 2021 ini hanya 3 persen-4 persen selalu kami bilang begitu. Dengan lonjakan kasus kami memang masih berada pada range itu tapi sekarang lebih mengarah ke 3 persen, belum rendah dari itu,” katanya. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, basis pertumbuhan ekonomi 2020 lalu sangat rendah yakni minus 2,07 persen. Kedua, ekspor Indonesia mengalami lonjakan pesat ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Sebaliknya, impor diprediksi turun karena PPKM darurat sehingga sejumlah industri manufaktur tidak beroperasi maksimal. “Ini menciptakan gap yang makin lebar antara ekspor dan impor, sehingga net ekspor besar ini meredam kontraksi yang terjadi pada konsumsi rumah tangga,” ujar Faisal.●(Lula)

pasang iklan di sini