Awalnya Aditya ingin membangun bisnisnya mendirikan cold storage ikan untuk pasar ekspor. Belakangan niat itu beralih pada tambak udang vaname. Prospek pasarnya memang jauh lebih menjanjikan.

Keinginan menjadi pengusaha bidang pertanian akhirnya berlabuh di pesisir pantai Padang Pariaman. Bagi Aditya yang memang jebolan Agrobisnis Institut Pertanian Bogor, cita-cita jadi pengusaha sudah terpatri sejak masih di bangku kuliah. “Saya ingin turut memberi contoh, bahwa yang berstatus sarjana itu akan lebih bermanfaat jika ia menciptakan lapangan kerja ketimbang menjadi karyawan,” ujar Aditya saat berbincang di lahan tambak udang vaname miliknya di pantai Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) beberapa waktu lalu.
Putra minang kelahiran Padang 31 Juli 1990 ini memang masih pemula jika dibanding dengan ratusan petambak udang vaname lainnya yang berjajar di sepanjang pantai barat Sumbar.
Untuk menaungi legalitas bisnisnya, pada 2021 Aditya mendirikan perusahaan, PT Minangkabau Cakrawala dengan investasi awal Rp4 miliar. Jumlah itu, kata dia, masih perlu ditingkatkan, karena sedikitnya untuk mencapai hasil memadai perusahaannya minimal mengelola tambak seluas 10 ha.
“Saat ini lahan kami baru seluas 2,2 ha dengan 12 kolam untuk tambak dan budi daya, hingga kini kami masih mencari pola optimal dalam budidaya komoditas ini,” ujarnya. Di lahan seluas itu, sambungnya, produksi udang vaname bisa sebanyak 13 hingga 15 ton per panen. Pada panen perdana dan kedua, perusahaan ini belum berhasil mencapai hasil diharapkan. Namun lanjut Aditya, pada panen ketiga ini cuaca cukup baik dan dengan dibantu 15 orang tenaga kerja di perusahaannya, ia optimistis bakal melewati hasil panen ke tiga mendatang melebihi 13 ton.
Menjamurnya para petambak udang vaname di pesisir Sumbar, antara lain, Mentawai, Pesisir Selatan, Padang, Pariaman, Padang Pariaman, Agam dan Pasaman Barat, menurut Aditya pertumbuhan itu sangat positif. Tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat tetapi juga kian terbukanya lapangan kerja. Dia tidak melihat bakal adanya persaingan di kalangan para pengusaha tambak. Karena Indonesia merupakan salah satu dari 5 (lima) produsen udang terbesar di dunia. Ini tentunya dapat memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dengan terus mengoptimalkan pemanfaatan daerah potensial.

Primadona Ekspor
Saat ini, vaname menjadi udang unggulan ekspor di Indonesia karena kandungan gizinya lebih tinggi dibanding jenis udang lainnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia mencatat pada 2022, produksi udang mencapai 1.099.976 ton atau naik 15 persen dibandingkan tahun 2021 yang 953.177 ton. Dari jumlah tersebut, jenis udang vaname adalah yang terbesar selain udang windu dan udang jerbung.
Akan halnya Sumbar, daerah yang berdekatan dengan Samudera Hindia ini dinilai paling cocok bagi budi daya udang vaname karena kualitas air lautnya jauh lebih baik dibandingkan daerah lain. Lantaran itu, prospek pengembangan udang vaname di Sumbar cukup besar, apalagi lingkungan sangat mendukung.
Namun dibalik cerahnya prospek cerah udang vaname Sumbar, juga masih ada ganjalan cukup mengganggu. Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar menengarai hampir sebagian besar pertambak tidak memiliki izin usaha alasi illegal. Kondisi ini juga yang dirasakan oleh Aditya yang mengaku usahanya di bawah PT Minangkabau Cakrawala sudah mengantongi izin usaha. Masih ada petambak yang belum menerapkan standar IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) guna menekan limbah yang nantinya akan mengalir ke laut, dan juga masih banyak tambak yang lokasinya melanggar batas pantai. Dia berharap Pemda Sumbar menertibkan para petambak yang masih berstatus ilegal tersebut agar iklim usaha udang vaname dapat memberikan kontibusi ekonomi nyata bagi masyarakat Sumbar. (Irm)