octa vaganza

Prospek Cerah, Pandai Besi Gunung Kidul Terancam Punah

GUNUNG KIDUL—Sejak 1994 Sunardi, warga Karang Tengah, Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul melanjutkan profesi ayahnya sebagai pandai besi. Profesi ini bahkan juga lanjutan dari kakeknya dari Klaten yang hijrah ke Gunung Kidul. Dalam sejarah pandai besi sudah ada sejak zaman para Empu (pembuat keris), masa Hindu-Buddha.

Di bawah bendera UD Sagi. Sunardi dengan tenaga kerja 4 hingga 6 orang membuat dan menjual alat-alat pertanian. Namun Sunar, demikian nama panggilannya mengaku, awalnya menjadi perajin pandai besi karena tidak ada pekerjaan lain,

“Awalnya  saya membuat sabit dan gathul(koret dalam bahasa Lampung) dengan modal Rp300.000, lokasi di rumah orangtua di Karang Tengah, Wonosari. Perjuangan yang  cukup berat karena belum ada modal kerja hanya modal kemauan saja,” ujar Sunar ketika dihubungi Peluang, Senin (16/3/20).

Kini UD Sagi memproduksi sabit,gathul,parang dan golok. Setiap jenis tutur Sunar, usahanya mampu membuat 50 – 60 unit per hari. Semuanya  habis tejual setiap bulannya sesuai permintaan pasar.

“Rata-rata kami hanya bekerja  rata-rata  20 hari per bulan hasil penjualan per minggu  berkisar antara Rp7 hingga 9 juta,” terang Sunar.

Menurut dia, sebetulnya prospek pandai besi lumayan bagus. Sayangnya tenaga kerja mulai punah. Dulu ada sekitar 200 perajin sekarang tinggal sekitar 20 – 25 perajin saja.

Sunar mengaku di daerahnya tidak ada yang membuat cangkul, hingga gemburan cangkul impor tidak dirasakan mereka. Hanya saja Sunar berharap pemerintah membantu pembelian alat timpa besi hingga membantu pelestarian profesi ini.

“Kami juga berharap agar perusahaan atau perkebunan sawit memesan alat panen dari daerah kami agar perajin pandai besi berkembang,” ucap dia.

Informasi soal regenerasi dibenarkan sebuah situs berita lokal, Padukuhan Kajar II dan Kajar III, Desa Karangtengah, Kecamatan Wonosari dulu terkenal dengan sentra pande besi. Namun kini perajin di wilayah setempat jumlahnya semakin sedikit.

Kaum muda di daerah itu lebih suka bekerja di perusahaan, akibatnya perajin yang masih aktif sudah berusia lanjut. Selain Sunar, ada Marmin, warga Kajar III RT 01/RW 10, Desa Karang Tengah.

Marmin menceritakan pada 1981-1985 pernah ada proyek pemerintah untuk pembuatan alat pertanian massal sehingga masyarakat tertarik menjadi pandai besi. Kala itu pun warga sangat bergantung dengan pandai besi sebagai sumber penghasilan. Sayangnya dengan terhentinya proyek dari pemerintah itu lambat laun pande besi di daerahnya semakin menyusut

Padahal sebetulnya prospek masih cerah. Pengiriman keluar daerah dilakukan secara berkala. Sekali pengiriman peralatan yang dikiirim mencapai ribuan unit yang terdiri dari alat-alat pertanian tradisional.  Dia pernah meraih pendapatan kotor hingga Rp40 juta sekali pengiriman (Irvan Sjafari).

Exit mobile version