
PeluangNews, Jakarta – Munculnya dinamika ketersediaan beras di pasaran sedang ditangani pemerintah secara kolaboratif dengan mengandalkan program intervensi perberasan yang konsisten dijalankan dan dimasifkan guna mencapai target yang telah ditetapkan.
Apalagi dalam kalkulasi pemerintah, produksi beras dalam negeri di 2025 ini sebenarnya menunjukkan proyeksi statistik yang cukup apik.
Menukil dari Proyeksi Neraca Pangan yang diolah Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) yang salah satu referensi datanya menggunakan Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat surplus beras sebesar 5,01 juta ton terhadap selisih antara produksi dan konsumsi selama Januari sampai September. Di samping itu, berbagai program intervensi pemerintah pun telah memberikan impak positif terhadap perkembangan harga beras di pasaran.
“Sesuai data dalam Proyeksi Neraca Pangan yang telah disinergikan dengan KSA BPS, produksi beras itu 28,22 juta ton sampai September. Kemudian kebutuhan konsumsi sampai September itu 23,21 juta ton. Artinya kalau melihat produksi sampai September dibandingkan dengan kebutuhan, masih ada surplus 5 juta ton. Secara prinsip sampai September ini, relatif sangat bagus,” papar Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan NFA I Gusti Ketut Astawa dalam diskusi publik di Kantor Ombudsman, Jakarta pada Selasa (26/8/2025).
“Namun memang petani kita di beberapa daerah, punya pola penyimpanan yang sesuai kearifan lokalnya. Jadi petani itu tidak langsung menjual, ada yang disimpan. Itu tercermin dalam survei kami di 2023 dan 2024 bahwa rumah tangga produsen dan konsumen menyimpan lebih dari 10 persen. Jadi ini harus diperhitungkan, sehingga memang kalau produksinya tinggi, barang itu ada, tapi kemungkinan tidak ke pasar, mereka tahan untuk jaga-jaga. Ini tentu tidak bisa dilarang karena merupakan budaya setempat,” urai Ketut.
Sebagai informasi, hasil Survei Stok Beras dan Jagung Akhir Tahun 2023 (SSBJAT23) memperlihatkan sebaran ketersediaan beras yang berada di berbagai kategori. Secara spesifik ketersediaan beras nasional kala itu berada di rumah tangga produsen dan konsumen 66,34 persen; Perum Bulog 19,60 persen; pedagang 6,74 persen; horeka dan industri 3,72 persen; penggilingan 3,53 persen, hingga Produsen Usaha/Perusahaan Pertanian Berbadan Hukum (UPB) 0,07 persen.
Selanjutnya, terkait fluktuasi harga beras di pasaran saat ini, Deputi Ketut menjelaskan implementasi program intervensi telah pemerintah lakukan sejak medio Juli antara lain program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dan bantuan pangan beras. Hasilnya tampak pada pergerakan harga yang cukup menyegarkan dan tertahan, sehingga tidak semakin berfluktuasi.
Dalam laman Panel Harga Pangan NFA, jumlah kabupaten/kota yang memiliki rerata harga beras medium sama atau di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET) pada minggu terakhir di Juli sampai minggu keempat Agustus telah mengalami peningkatan 26 persen. Minggu terakhir Juli terdapat 155 kabupaten/kota dengan harga beras medium cukup baik. Pada minggu keempat Agustus ini semakin bertambah menjadi 196 kabupaten/kota.
“Memang dari sisi harga terjadi kenaikan dan ini tentu pemerintah sudah melakukan berbagai langkah. Salah satunya langkah yang pertama adalah SPHP. Di samping juga sudah melakukan bantuan pangan dalam rangka stimulus ekonomi, di mana pemerintah sudah mengeluarkan sekitar 360 ribuan ton beras bagi 18,27 juta keluarga untuk 2 bulan. Kita melihat ada perkembangan harga tatkala ada bantuan pangan memang dia flat. Ini juga membuat harganya agak fresh,” ungkap Ketut.
“Untuk SPHP beras periode Juli-Desember dengan target 1,3 juta ton, ini memang masih perlu ada peningkatan-peningkatan. Namun hari ini Bulog sudah bisa menyebarkan sampai 7 ribu ton, bahkan di atas 7 ribu ton dalam sehari. Namun tentu kualitas penyebarannya yang harus dijaga. Artinya Bulog harus perkuat di pasar rakyat dan juga pasar modern. Harus terus dimasifkan dengan guyur ke semua lini pasar yang telah ditentukan,” ucap Deputi Ketut.
Di kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika menuturkan sebaiknya pemerintah memang menaruh perhatian pada perkembangan harga beras medium. Baginya kondisi harga beras medium penting distabilkan bagi masyarakat secara luas.
“Ini ada beberapa alternatif kami sedang mengumpulkan berbagai macam informasi. Tentunya informasi ini akan didalami. Pertama, pada intinya Ombudsman akan mendalami persoalan ini. (Mulai) dari siapa yang bertugas untuk melakukan stabilisasi pada saat ketersediaan (beras) terbatas dan harga sedang melonjak. Itu sudah jelas, itu ranahnya Badan Pangan Nasional,” kata Yeka.
“Nah, tugas pemerintah mengamati saja satu jenis beras. Katakanlah spesifikasinya seperti beras medium di pasaran, karena pasti ketemu itu. Inilah yang diamati. Kalau (beras medium) ini bergejolak, operasi pasar masuk, sehingga nanti (kebutuhan konsumsi) masyarakat tersedia,” ucapnya lagi.
Terpisah, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menyatakan komitmennya dalam upaya pemerintah memasifkan program intervensi perberasan.
“Sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo, program SPHP beras akan terus digenjot hingga Desember. Semisal sebelum Desember sudah mencapai 1,3 juta ton, akan kami ajukan kembali untuk target tambahannya. Stok beras pemerintah sangat besar saat ini,” sebut Arief.