hayed consulting
hayed consulting
lpdb koperasi
Opini  

PP Jabatan Sipil untuk Melegitimasi Pelanggaran Konstitusi Kapolri?

Ilustrasi/Dok. Ist

Oleh: Edy Mulyadi

PeluangNews, Jakarta – Perpol (Peraturan Kepolisian Republik Indonesia) Nomor 10 Tahun 2025 bikin masalah serius. Beleid Kapolri Listyo Sigit Prabowo ini mengizinkan polisi aktif menduduki jabatan sipil.

Ini bukan sekadar keliru, bahkan berbahaya. Publik pun gaduh. Namun ada persoalan lain yang jauh lebih berbahaya. Presiden Prabowo Subianto membiarkan perpol ini tetap hidup.

Di titik inilah masalah berubah dari isu administratif Polri menjadi krisis konstitusional. Secara hukum, perpol ini semestinya sudah tamat sejak lahir. Ia bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), melabrak UU Polri, dan menyalahi UU ASN. Putusan MK tegas: anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil kecuali mengundurkan diri atau pensiun.

UU Polri tidak memberi satu pun celah pengecualian. UU ASN menutup pintu bagi aparat bersenjata aktif masuk ke jabatan sipil. Tidak ada ruang tafsir. Tidak ada perdebatan akademik. Mahfud MD pun telah menyatakannya secara terbuka. Jelas, lugas dan tanpa basa-basi.

Dalam negara hukum, situasi seperti ini seharusnya sederhana. Presiden memerintahkan Kapolri mencabut perpol. Selesai. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Presiden memilih diam. Dia berputar, lalu menginisiasi penyusunan peraturan pemerintah (PP) dengan melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Seolah masalahnya adalah polemik, bukan pelanggaran berat terhadap hukum dan konstitusi. Di sinilah letak bahayanya.

Ketika sebuah peraturan yang jelas-jelas melanggar konstitusi tidak segera dicabut, negara sedang mengirim pesan berbahaya. Konstitusi bisa ditawar, asal pelanggarnya cukup kuat secara politik. Hari ini perpol. Besok peraturan menteri. Lusa mungkin keputusan presiden. Semua bisa ‘diamankan’ dengan dalih harmonisasi regulasi.

Sikap Presiden ini bukan semata soal menjaga relasi dengan Kapolri. Juga bukan sekadar urusan stabilitas kekuasaan jangka pendek. Ia menyentuh fondasi bernegara. Presiden membiarkan aparat di bawahnya mengabaikan putusan MK. Pesan yang sampai ke seluruh birokrasi dan aparat adalah satu: putusan konstitusi tidak lagi sakral. Tidak lagi final dan mengikat.

Keanehan sikap Presiden makin telanjang bila dibandingkan dengan banyak kasus lain. Dalam kisruh distribusi LPG 3 kg yang menyengsarakan rakyat bahkan menelan korban jiwa, Presiden bertindak cepat dan tegas.

Dalam polemik investasi tambang di Raja Ampat yang mengancam lingkungan, Presiden segera memerintahkan evaluasi. Pada sengketa empat wilayah Aceh yang sempat “dipindahkan” ke Sumatra Utara oleh Mendagri, Presiden pun tak berlama-lama memerintahkan koreksi. Namun ketika yang dipertaruhkan adalah putusan MK, Presiden justru ragu, gamang atau takut?!

Publik wajar bertanya: apakah Kapolri begitu istimewa hingga Presiden tidak berani bertindak? Ataukah benar sinyalemen pemerhati intelijen Sri Radjasa, bahwa Presiden mengetahui dan merestui penerbitan perpol ini sejak awal? Jika yang kedua benar, maka persoalannya jauh lebih serius. Negara sedang dipimpin oleh Presiden yang secara sadar membiarkan pelanggaran konstitusi.

Dampaknya tidak berhenti hari ini. Ini adalah preseden berbahaya bagi masa depan republik. Ketika konstitusi dilemahkan di satu titik, ia akan runtuh di titik lain. Negara hukum pelan-pelan bergeser menjadi negara kekuasaan. Loyalitas pada hukum digantikan oleh loyalitas personal dan institusional.

Di sinilah sumpah jabatan Presiden berdiri sebagai cermin yang tak bisa dihindari:

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.”

Membiarkan perpol yang bertentangan dengan putusan MK tetap berlaku—bahkan berupaya melegitimasinya melalui PP—berarti menyimpang dari sumpah tersebut. Ini bukan soal selera politik. Bukan pula sekadar relasi Presiden dengan Kapolri. Ini soal kesetiaan tertinggi seorang Presiden kepada konstitusi.

UUD 1945 melalui pasal 7A secara tegas mengatur bahwa pelanggaran terhadap konstitusi bukan perkara sepele. Ia bisa berujung pada pemakzulan. Prosesnya memang panjang dan berlapis. Namun prinsipnya terang: konstitusi tidak boleh dikalahkan oleh siapa pun, termasuk Presiden.

Sejarah mencatat, negara tidak runtuh karena kritik keras, tetapi karena pemimpinnya mulai membiarkan pelanggaran konstitusi dianggap wajar. Ada gejala Perpol 10/2025 dibiarkan lalu dilegitimasi dengan PP. Ini akan dikenang bukan semata sebagai kesalahan Kapolri, melainkan sebagai titik awal pembiaran konstitusi oleh Presiden Republik Indonesia. []

[Penulis adalah wartawan senior]

pasang iklan di sini
octa vaganza