JAKARTA—Perhitungan ekonomi studi dari Montarar Thaborncharoensap pada 2009 pernah mengungkapkan dampak ekonomi minuman beralkohol (minol) menunjukkan beban terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara berkisar 0,45 persen hingga 5,44 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengutip penelitian itu sambil menyebutkan kerugian di Amerika Serikat akibat minol ialah 1,66 persen. Kalau itu dijadikan acuan maka kerugian ekonomi akibat alkohol ialah 1,66 persen dikalikan PDB 2020 sebesar Rp15.434,2 triliun, maka didapat angka Rp256 triliun.
Jika mengambil batasan paling rendah pun yakni 0,45 persen, maka tingkat kerugian ekonomi Indonesia akibat alkohol sebesar Rp69,4 triliun. Dengan demikian angka kerugian dari minuman beralkohol, lebih tinggi ketimbang pendapatan negara dari sisi cukai yang hanya Rp7,14 triliun. Apalagi, terdapat 61 jenis penyakit yang berasal dari minuman beralkohol.
“Minuman beralkohol terbukti di AS menjadi penyebab dari penyakit jantung. Di seluruh dunia terdapat 76 juta orang yang kecanduan minuman beralkohol,” ujar Bhima dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (14/7/21).
Berdasarkan studi yang sama, minuman beralkohol juga memiliki dampak tidak langsung ke masyarakat, seperti kematian bayi prematur, penurunan produktivitas, biaya penahanan penjara naik karena kriminalitas meningkat, dan risiko pensiun dini karena penyakit.
Sementara dampak secara langsung adalah biaya kesehatan naik, biaya penelitian untuk mitigasi risiko negatif alkohol, biaya kerusakan properti akibat konsumsi minuman beralkohol, dan biaya lain-lain.
“Pelarangan minuman beralkohol justru dapat menyelamatkan perekonomian. Sebab bisa menekan kerugian perekonomian, ketimbang manfaat yang didapatkan negara dari alkohol,” pungkasnya.