
Oleh: Edy Mulyadi
PeluangNews, Jakarta – Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bukan sekadar produk administrasi. Ia telah menjelma menjadi soal besar konstitusi. Isinya bermasalah. Tapi yang lebih gawat, karena ia lahir, berjalan, dan dipertahankan dengan ‘amin’ dari Presiden. Bukan lewat pernyataan terbuka, melainkan melalui diamnya Presiden yang penuh makna politik.
Pertanyaannya kini sederhana tapi menentukan: apakah putusan Mahkamah Konstitusi masih benar-benar final dan mengikat? Atau boleh disisihkan selama Presiden memilih membiarkan?
Di titik inilah publik gaduh. Mahfud MD, mantan Ketua MK, tak berbasa-basi. Ia menyebut Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK. Beleid itu juga menabrak dua undang-undang sekaligus: UU Polri dan prinsip dasar negara hukum. Bagi Mahfud, ini bukan perbedaan tafsir biasa. Ini pembangkangan konstitusional. Pernyataan keras ini bukan datang dari aktivis jalanan. Sikap tegas ini lahir dari orang yang paham betul anatomi putusan MK dan daya ikatnya.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 sudah sangat terang. Polisi aktif dilarang menduduki jabatan sipil di luar struktur kepolisian, kecuali mengundurkan diri atau pensiun. MK bahkan secara eksplisit membatalkan frasa “penugasan oleh Kapolri” yang selama ini dijadikan pintu belakang. Tidak ada ruang tafsir kreatif di situ. Titik.
Namun Perpol 10/2025 justru membuka kembali pintu yang sudah ditutup MK. Dengan dalih penugasan, koordinasi, dan kebutuhan negara, anggota Polri aktif tetap bisa mengisi jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga. Secara substansi, ini menghidupkan kembali norma yang telah dimatikan MK.
Di sinilah masalahnya. Dalam negara hukum, tidak ada satu pun lembaga yang berhak menafsirkan ulang putusan MK, apalagi sesuai kepentingannya sendiri. Putusan MK bukan rekomendasi. Ia bukan saran teknokratis. Ia adalah hukum tertinggi yang mengikat semua. Ia berlaku bagi Presiden, DPR, TNI, Polri, bahkan MK sendiri.
Karena itu, Laksma Moeryono Aladin, Jubir Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP-TNI), menyebut langkah Kapolri sebagai bentuk ‘makar konstitusional’. Pernyataan itu memang keras. Tapi ia lahir dari kegelisahan yang rasional. Apa jadinya negara jika institusi bersenjata merasa berhak menegosiasikan konstitusi? Ini bukan makar bersenjata, melainkan makar terhadap prinsip paling mendasar negara hukum.
*Arena tafsir kekuasaan*
Kapolri Listyo Sigit Prabowo tentu membantah. Ia bersikukuh Perpol 10/2025 sesuai regulasi. Bahkan disebut sebagai bentuk pelaksanaan putusan MK. Pendukungnya di DPR ikut mengaminkan. Kata kuncinya selalu sama: harmonisasi, implementasi, teknis.
Padahal masalahnya sederhana. Harmonisasi tidak boleh mengubah substansi. Implementasi tidak boleh menabrak larangan. Peraturan di bawah undang-undang tidak punya hak moral maupun hukum untuk mengoreksi putusan MK. Jika ini dibiarkan, hierarki hukum runtuh. Hari ini Polri, besok lembaga lain. Negara berubah menjadi arena tafsir kekuasaan.
Persoalan ini juga menyentuh isu yang lebih dalam: polisisasi ruang sipil. Reformasi 1998 memisahkan Polri dari militer. Salah satu amanat penting reformasi selain memberantas KKN adalah menarik aparat bersenjata keluar dari jabatan sipil. Bukan tanpa alasan. Netralitas birokrasi, profesionalisme, dan demokrasi bergantung pada batas tegas itu. Ketika Kapolri kembali mengaburkan batas ini, publik wajar curiga.
Namun persoalan paling berbahaya justru ada di Istana. Prabowo Subianto memilih diam. Dalam sistem presidensial, Kapolri adalah pembantu Presiden. Dipilih, diangkat, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ketika putusan MK dilanggar secara terang-terangan, ketika kritik datang dari mantan Ketua MK, dan kegelisahan publik meluas, Presiden justru memilih tidak bersuara.
Sebagai pembantu Presiden, mustahil Kapolri berani menerbitkan aturan sepenting itu tanpa sepengetahuan Prabowo. Logika paling mungkin, Presiden pasti tahu. Atau, bahkan merestui. Bayangkan, presiden mengetahui, mengamini bahkan merestui pembantunya melabrak konstitusi.
Diamnya seorang Presiden bukanlah sikap netral. Ini sikap politik. Dengan diam, Prabowo mengirim sinyal bahwa pelanggaran konstitusi bisa ditoleransi selama dibungkus dalih stabilitas dan kebutuhan negara. Pola ini tidak asing. Prabowo hari ini terlihat 11–12 dengan Jokowi. Sama-sama membiarkan hukum ditekuk oleh kekuasaan, lalu berpura-pura tidak tahu.
Jika putusan MK saja bisa diakali lewat Perpol, maka jangan heran jika publik mulai bertanya dengan suara keras: siapa sebenarnya yang berdaulat di republik ini—konstitusi atau senjata?
Sejarah mencatat, runtuhnya negara hukum bukan dimulai dari kudeta berdarah. Ia bermula dari pembiaran sistematis terhadap pelanggaran konstitusi. Ketika Presiden diam, Sigit dan institusinya merasa kebal. Ketika aparat kebal, hukum mati. Dan ketika hukum mati, apa yang tersisa dari sebuah negara, selain pongahnya kekuasaan. []
[Penulis adalah wartawan senior]








