Hukum  

Polemik Kejanggalan MK Terkait Batasan Umur Capres-Cawapres

Peluangnews, Jakarta – Dikabulkannya sebagian permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia capres dan cawapres masih menjadi polemik hingga saat ini. Bahkan, banyak pihak yang menilai bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam hal itu.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) seperti memaksakan dikabulkannya permohonan tersebut.

Baca: MK Diminta Kabulkan Gugatan Batasan Usia Capres-Cawapres(Buka di tab peramban baru)

Pasalnya, meskipun setiap Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak yang sama, namun legal standing pemohon dalam gugatan ini tidak jelas dan terkesan dipaksakan. 

“Sangat janggal, karena legal standing dari pemohon pun tidak jelas dan terkesan seperti dipaksakan. Seharusnya sikap MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan tersebut karena legal standing nya saja terkesan asal-asalan,” ujar Abdul kepada Peluang News, Kamis (19/10/2023).

Baca : Polemik Kebijakan Kontroversi (Buka di tab peramban baru)

Senada dengan Abdul, Julius Ibrani selaku ketua PBHI, menyatakan, pihaknya menemukan beberapa kejanggalan, baik secara formil, administrasi, dan materiil.

Adapun kejanggalan formil yang dimaksud yaitu kejanggalan mengenai legal standing dari pemohon. Kemudian, secara administrasi juga dinilai terjadi kesalahan mengenai permohonanan  yang  telah  ditarik tidak  dapat  diajukan  kembali,  meskipun  belum  ada  putusan  berupa  ketetapan penarikan kembali yang dikeluarkan oleh MK.

Baca : http://Tak Miliki Legal Standing, MK Tidak Dapat Menerima Permohonan Perludem

Sedangkan secara materiil atau substansi, Julius menyinggung adanya penambahan frasa yang tidak diajukan oleh pemohon namun ditambahkan pada amar putusan. 

Oleh karena itu, ia menegaskan, pihaknya telah memberikan laporan terkait adanya dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi pada putusan tersebut.

“Jadi, tujuan kami melaporkan sebenarnya untuk membersihkan Mahkamah Konstitusi dari intervensi politik dan keburukan-keburukan yang diakibatkan karena hakim konstitusi adalah cerminan dari konstitusi kita sendiri. Kami menilai bahwa materi yang diperiksa juga menyangkut indikator hukum dan demokrasi di negara kita dalam konteks pemilu,” tuturnya.

Sementara itu, peneliti BRIN, Firman Noor, menilai bahwa lembaga negara yang diketuai oleh Anwar Usman itu terkesan tidak konsisten dalam hal ini.

Alasannya, karena apabila terdapat 6 dari 9 hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), seharusnya MK menolak Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru tersebut, bukan malah dikabulkan sebagian.

“Maka MK seharusnya menolak, bukan dikabulkan sebagian. Karena poblemnya apabila ini dilanjutkan bisa menimbulkan kontroversi dan cacat hukum,” ujarnya. (P-1)

Exit mobile version