hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Polemik Kebijakan Kontroversi 

Jelang akhir tahun 2022 lalu, boleh jadi masyarakat kita makin  cerdas mendengar polemik para pejabat negara. Kala itu, pemerintah tiba-tiba saja mengeluarkan Perpu (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang) No 22 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Penerbitan Perpu itu mengagetkan memang, karena setahun sebelumnya dalam sidang gugatan uji formil UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi menyatakan  UU tersebut cacat formil dan diberi label inkonstitusional bersyarat yang harus diperbaiki dalam tempo dua tahun. 

Tidak sampai setahun, pemerintah justru menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Aneh bin Ajaib, karena kita tahu, Perpu yang menjadi hak prerogatif presiden itu hanya terbit jika ada kegentingan yang memaksa. Apakah negara dalam keadaan darurat?

Ada dua alasan yang dikemukakan pemerintah waktu itu, pertama karena khawatir terhadap dampak perang Ukraina-Rusia. Kedua untuk mengantisipasi kondisi perekonomian global, peningkatan inflasi maupun ancaman stagflasi. Padahal di pengujung 2022  Indonesia dalam keadaan baik-baik saja bahkan sejumlah lembaga ekonomi dalam dan luar negeri memberi label hijau bagi perekonomian yang diprediksi tumbuh positif di tahun 2023.

Kendati penerbitan Perpu tersebut bagi pemerintah merupakan jalan terbaik, namun polemik di tengah publik menilai kebijakan itu sebagai jalan terbalik, plot twist. Itu sebabnya, hingga kini aksi demo pembatalan UU Cipta Kerja terus meletup dimana-mana.

Polemik dan kebingungan publik di bulan ini kembali ramai  lantaran terbitnya PP No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Stressing dari beleid ini adalah dibukanya kembali ekspor pasir laut, setelah 20 tahun lalu ditutup oleh Presiden Megawati melalui Keppres Nomor 33 tahun 2002. Penghentian ekspor pasir laut kala itu karena eksploitasi yang tidak terkendali yang dikhawatirkan merusak lingkungan, ekosistem dan habitat kehidupan laut yang lebih luas.

Lain dulu, tentu lain sekarang. Melalui pembelaan tiga menterinya, Presiden Jokowi ingin menegaskan bahwa kebijakan ekspor pasir laut di zamannya  justru mengungtungkan. Selain  bertujuan untuk pendalaman alur laut agar tidak makin dangkal, dan memperlancar arus pelayaran, ekspor pasir laut juga tidak akan dijual murah.

 Pihak paling meradang terhadap kebijakan yang dianggap mengganggu akal sehat itu adalah para pecinta lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut PP tersebut bakal mengancam pulau-pulau kecil, yang belakangan makin menyusut. Data Walhi, ada sekitar 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya yang sudah tenggelam. Dan ke depan, masih ada 115 pulau kecil yang terancam tenggelam di wilayah perairan Indonesia, di wilayah perairan laut dalam. 

Tak pelak lagi, Singapura dinilai bakal menjadi negara yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kebijakan baru ini. Setidaknya negeri jiran ini bakal mulus melanjutkan proyek perluasan lahan daratannya. Seperti dikutip Business Times, sebelum pelarangan ekspor pasir laut, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut ke Singapura untuk perluasan lahan. Pengiriman  rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun, antara tahun 1997 hingga 2002. Data PBB untuk program lingkungan menyebutkan Singapura merupakan pengimpor Pasir terbesar di dunia. Diperkirakan sejak 40 tahun lalu atau antara 1978 hingga 2002, Singapura telah mengimpor pasir laut dari Indonesia dalam jumlah yang sangat besar yaitu mencapai 250 juta meter kubik per tahun.

By the way, dibukanya kran ekspor pasir laut ini bukan kabar baru bagi dunia usaha. Seorang pengusaha di Kadin DKI Jakarta bilang, Kendati dilarang oleh Keppres era Megawati yang dua dasa warsa lalu itu, ternyata ekspor tetap jalan dengan jumlah yang terbatas. Nah, kalau begitu siapa sebenarnya diuntungkan?

pasang iklan di sini