Ini ajang para pelukis asal Semarang yang beragam; baik latar belakang personal maupun tujuan melukis. Ada yang hanya melukis sebagai hobi ada pula yang menjadikannya profesi.

PULUHAN lukisan wajah tertata rapi memenuhi tiap sudut ruangan. Ada lukisan wajah KH Maimoen Zubair, Habib Luthfi bin Yahya, Ir Soekarno, Gus Dur, Moeldoko, Hendrar Prihadi, Megawati Soekarnoputri, dan masih banyak lagi. Terpajang berjejer di Jalan Kyai H. Zainuddin Raya, Karangroto, Genuk, Semarang, Jatim. Semua itu buah karya Ge Haryanto, pria yang sudah 30-an tahun menekuni dunia seni lukis sejak.
“Saya pribadi memang fokus aliran realis naturalis. Kalau ditanya sejak kapan, saya sudah cukup lama terjun di seni lukis,” tutur Ge Haryanto. Ia mengaku, awal dirinya belajar melukis dimulai pada 1992 di Sanggar Seni Bianglala dan Sanggar Imam Bonjol Kota Semarang. Setelah enam tahun, pada 1998, Ge memilih hijrah ke Bali. Di tempat inilah ia survive dengan melukis. Utamanya sebagai hobi, jual produk jika ada peminat, dan ternyata dia bisa survive hingga saat ini.
“Saya di (seni lukis) ini tidak ada jenuhnya, karena saya senang melakukan pekerjaan ini. Terlebih karena sebagian orang bisa mengapresiasi dan menghargai hobi saya,” tutur dia. Selang beberapa waktu, Ge kembali lagi ke kota kelahirannya, Semarang, untuk mengembangkan keahliannya. Dalam usaha peningkatan kualitas diri itu, Ge aktif mengikuti sejumlah komunitas seni lukis di Semarang.
Bicara komunitas menggambar, jumlahnya terbilang ramai di kota ini. Sebut saja itu Semarang Sketchwalk, Komunitas Lukisan Cat Air Indonesia (Kolcai) Chapter Semarang, Komunitas Sketsa Anak-anak, Lare Community, di samping Pojok Warna yang usianya relatif baru. Mereka fokus dengan program dalam spesifikasi perkumulan sealiran. Pelukis dengan berbagai pilihan orientasi aliran tempatnya di Pojok Warna inilah. Entah dia tergolong senior, yunior, baru belajar; mau serius atau coba-coba, silakan gabung di sini.
Ge menghimpun pelaku seni karena ia tahu persis watak mereka secara natural, sebagai seniman, cenderung bekerja sendiri-sendiri. Di komunitas ini pelukis dari berbagai macam aliran bisa bisa berhimpun dan bekerja bersama. Mereka saling belajar, berkarya, dan bertukar ilmu. Mereka berasal dari berbagai daerah, berbagai latar belakang, personal ataupun tujuan melukis. Ada yang melukis hanya sebagai hobi tapi ada pula yang menjadikannya pekerjaan alias sumber penghasilan.
Berhimpunnya para pelukis dari berbagai aliran seperti itu menumbuhkan suasana kebersamaan baru. Mendiskusikan masalah secara suka-suka. Mereka seperti berada di tempat les privat atau kelas belajar tanpa tutorial. Terkadang mereka berkolaborasi dengan komunitas lain dalam suatu acara. “Di sini kita kumpul bareng, bertukar ilmu, atau kadang sket bareng juga,” kata Ge.
Komunitas ini berawal dari sebuah grup WhatsApp. Anggotanya kebanyakan dari Surabaya. “Tapi yang benar-benar berniat (menjadi anggota komunitas) jumlahnya tidak banyak. Kalau kebetulan kita ada kegiatan, mereka biasanya mau datang,” kata Ge. Makanya, hingga saat ini anggotanya baru tujuh pelukis. Ge memang membatasi jumlah anggota. Sebab, jika kebanyakan anggota, pengelolaannya akan semakin sulit.
Bukan kebetulan jika ketujuh anggota Komunitas Pojok Warna mewakili aliran seni lukis yang berbeda-beda. Boleh dibilang, separuh dari jumlah keseluruhan aliran (isme) seni lukis bisa dijumpai di sini. Sebagaimana dimaklumi, di dunia seni lukis dikenal aliran-aliran: romantisme, naturalisme, realisme, surealisme, impresi onisme, ekspresionisme, fauvisme, kubisme, dadaisme, romantisme, astrakiosnisme, futurisme.
Dari segala persoalan yang harus dihadapi para seniman seni rupa, Ge berharap pemerintah bisa memberi lebih banyak ruang bagi kiprah mereka. Kalau bisa para seniman itu disponsori dan dukungan dana untuk menggelar pameran. Keberpihakan semacam ini yang dirasakan Ge sangat minim. Singkatnya, kepedulian dan apresiasi Pemprov dan Pemkot jauh dari harapan para pelukis.
Pemerintah daerah juga dinilai kurang mengapresiasi karya seni buatan asli seniman lokal. Apresiasi itu justru datang dari konsumen luar negeri. Rata-rata mereka meminta lukisan dalam bentuk Non-Fungible Token (NFT). “Saya beberapa kali dapat pembeli dari Eropa. Mereka maunya NFT. Jujur saya tidak paham soal NFT, jadi saya terpaksa menolak, padahal pendapatan dari sini sangat besar,” ujar Ge.
Padahal, seyogianya, menjadi tugas pemerintah untuk mendukung, membersamai kemajuan seni dan budaya di Kota Semarang. Seni lukis bisa menjadi showroom dalam banyak ruang kota, baik interlior maupun eksterior. Ambil contoh Semarang Rumah Kita, Semarang adalah rumah bagi semua, bahkan bagi pendatang. Sebab, di Semarang kita merasa dicintai, dihargai, dan dibutuhkan. Dengan demikian, pelaku seni juga dapat merasakan keamanan dan kenyamanan dalam berkarya.
Komunitas Pojok Warna yang bermarkas di rumah milik Geitu didorong niat membentuk suatu wadah yang bisa memberi dukungan dan apresiasi lebih kepada sesama pekerja seni. “Kita sesama teman ingin saling support. Karena setiap perupa energinya tidak sama, di sini kita berkolaborasi upaya kita sama-sama maju dan berkembang. Pojok Warna potensial berkembang dengan bagus jika karya yang kita buat lebih bisa diapresiasi oleh kalangan masyarakat yang lebih luas,” tutur Ge.
Dinamika komunitas Pojok Warna ini mulai terasa karena urun rembuknya sejumlah pelukis dari Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, dan Surabaya. Di samping itu, komunitas pelukis satu ini juga cukup aktif melakukan kegiatan kolektif, seperti diskusi, melukis bersama di jalanan, hingga mengadakan pameran karya.
“Syukur-syukur kalau karya kita dikoleksi oleh peminat lukisan. Jadi, masing-masing personel merasa ter-support. Dan (berhimpun dalam komunitas) ini memang usaha untuk saling mendukung sesama pekerja seni,” tuturnya. Sayangya, hingga saat ini, Komunitas Pojok Warna belum dapat perhatian dari pemerintah.
“(Kalau dari pemerintah) sepertinya belum ada. Padahal, merawat komunitas ini tidak mudah. Yang pasti, kita punya harapan (ke depan) untuk terus maju, Harapan bahwa komunitas ini makin solid sebagai wadah bersama bagi pelukis berbagai aliran,” ujar Ge Haryanto.
Alhasil, untuk mengintenskan kegiatan, mereka praktis mengandalkan semangat dan kontribusi dari antaranggota yang nominalnya tak seberapa. Dengan demikian, ke depannya Pojok Warna diharapkan bisa lebih aktif dalam berkolaborasi. Unjuk karya yang lebih intens di kalangan pelukis akan makin membuka ruang lebih lebar bagi ketertarikan para apresiator.●(Zian)