TASIKMALAYA—Pertamina Geothermal Energy (PGE) area Karaha mendukung usaha budi daya ulat sutera di Kampung Karanganyar, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya. Dukungan itu untuk menjawab tantangan besarnya kebutuhan benang sutera nasional
Para pelaku pembudidaya yang tergabung dalam Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera pernah merajai pasar tenun dari Tasikmalaya. Dalam satu minggu penghasilan industri kreatif ini, bisa mencapai Rp5 Juta per minggu.
Sayangnya pandemi Covid-19 membuat kelompok ini harus kehilangan pasar. Sebelum pandemi dalam dua minggu bisa mengumpulkan belasan juta rupiah. Namun saat ini untuk mengumpulkan Rp5 juta saja sangat sulit. Namun berkat kemitraan dengan Pertamina, usaha ini mulai menggeliat.
Holib (49th) Ketua Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera Hobib (49 tahun), menyampaikan saat ini dari kebutuhan benang di Indonesia sekitar 95% masih berasal dari impor, terutama dari Tiongkok dan Jepang.
Padahal memperhatikan letak geografis dan geologisnya Tasikmalaya mempunyai iklim dan kondisi lahan yang sangat sesuai untuk dilakukannya budidaya ulat sutera.
“Saat ini kami sendiri sedang melakukan budidaya ulat sutera di lahan seluas 3 hektar. Dan alhamdulillah dari apa yang kami lakukan hampir satu tahun belakangan ini, setidaknya kami sudah memiliki kemandirian untuk menghasilkan benang sutera produk kami sendiri,” kata Holib.
Holib mengakui, memang tidak mudah dalam melakukan budi daya ulat sutera, meski hasilnya sangat menjanjikan. Misal, ada sekitar 25.000 butir telur dalam satu boks paket pemeliharaan ulat sutera.
Dalam satu boks bisa menghasilkan sekitar 38-40 kg kokon (kepompong) ulat sutera dengan kebutuhan pakan sekitar 600 – 850 kg daun murbei. Kokon ini yang kemudian akan diambil seratnya untuk dijadikan benang sutera oleh industri.
Satu kilogram kokon sendiri di pasaran berkisar harga Rp50.000-Rp70.000. Sementara kata Holib, untuk siklus budidaya ulat sutera itu sendiri tidaklah panjang.
Hanya dibutuhkan waktu sekitar 27-30 hari terhitung sejak awal pemeliharaan hingga panen dengan modal awal Rp400.000 untuk satu kali siklus budidaya.
“Dalam setahun bisa dilakukan 8-10 kali pemeliharaan,” tambah Hobib.
Holib menuturkan, dalam satu kali siklus pemeliharaan, omset yang bisa diperoleh petani sekitar Rp2.000.000.
Pendapatan total ini akan jauh lebih besar dengan memperhitungkan panen dari komoditas lain yang dihasilkan di areal tumpang sari. Di Kelompok Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera sendiri saat ini sedang dikembangkan usaha produksi teh daun urbei.
“Alhamdulillah meski baru bisa menjual dalam bentuk daunnya saja, namun bukan tidak mungkin ke depan, dengan sudah adanya bantuan alat produksi teh dari PGE Karaha kami akan mampu merealisasikannya. Saat ini kami masih dalam proses persiapan dan terus belajar,” ujarnya.
Kata Holib, tantangan terbesar dalam budidaya ulat sutera adalah ketelatenan dari petani itu sendiri. Sebab, ulat sutera butuh banyak makan sebelum melakukan proses metamorfosis menjadi kepompong.
Ulat sutera kecil tidak tahan terhadap bau-bauan, misalnya bau rokok dan parfum. Sehingga orang atau pekerja yang masuk kandang tidak boleh mengandung aroma tersebut.
“Dan ahamdulillah dari kebun murbei baik yang dimiliki anggota secara perorangan maupun kelompok, saat ini kami cukup mampu memenuhi kebutuhan pakan ulat,” katanya.
Sementara Area Manager Pertamina Geothermal Energy (PGE) Karaha Andi Joko Nugroho pada kesempatan berbeda menyampaikan apresiasinya atas kerja keras yang telah dilakukan Kelompok dalam upayanya menyediakan bahan baku kain sutera.
“Apa yang dilakukan anggota kelompok sejalan dengan upaya perusahaan dalam akselerasi pengembangannya menyediakan energi bagi negeri,” ujar Andi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/9/21).
Pembinaan yang dilakukan PGE Area Karaha kepada Usaha Tenun Sutera Alam Mardian Putera terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Pada sektor hulu dilakukan pendampingan dalam budi daya ulat sutera termasuk penyiapan lahan, penyediaan bibit murbei unggulan, pemeliharaan rumah ulat sutera hingga peremajaan peralatan pengokon.
Sementara di sektor hilir telah dilakukan pembinaan dalam bentuk peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok, peremajaan peralatan tenun, pelatihan teknik pewarnaan, dan branding produk.
“Selama masa pandemi berlangsung guna mempertahankan eksistensi usaha, kepada kelompok juga diberikan bantuan berupa bahan baku benang sutera dan berbagai kesempatan promosi produk,” pungkanya.