octa vaganza

Petualangan Mencari “Merah Putih” di Perbatasan NTT-Timor Leste

JAKARTA—-“Saya Fransiska, Mama Rote, Bapak Jawa, Saya Indonesia Oscar,” ucap Fransiska ketika menengok Oscar yang cedera. Salah satu adegan film “Rumah Merah Putih” yang begitu menyentak, namun merupakan salah satu pesan film ini.

Dikisahkan, Farel Amaral dan Oscar Lopez  adalah murid SD di Desa Silawan, Kabupaten Belu di daerah perbatasan NTT dan Timor Leste yang hidup bersahaja namun mempunyai kecintaan yang mendalam terhadap tanah air mereka.  Kisah persahabatan mereka menjadi inti film “Rumah Merah Putih”  produksi Alenia Pictures.

Film ini dibuka  dengan suasana menjelang perayaan 17 Agustus, mereka bersama dua kawannya lainnya Anton dan David masing-masing membeli dua kaleng cat berwarna merah dan putih untuk mengecat rumah mereka.

Dalam perjalanan pulang mereka mengikuti lomba panjat pinang. Mereka gagal karena bukannya bersatu, tetapi berdebat hadiah mana yang diambil lebih dahulu. Mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Karena abai, Farel kehilangan dua kaleng catnya.  Solider dengan Farel, Oscar dan kawan-kawannya berupaya mengumpulkan uang  untuk membeli cat pengganti yang hilang. Mereka bekerja mengangkat air, mengumpulkan asam dan pekerjaan apa saja membantu penduduk desa dan mendapat upah.

Sayangnya stok cat merah dan putih di desa mereka habis. Usul seorang penduduk desa agar mereka mengganti warna lain ditampik. “Merah Putih itu tidak bisa diganti Bapak,” ucap Farel.

Berbagai upaya untuk mendapatkan dua kaleng cat merah dan putih ini menjadi inti cerita film yang disutradarai oleh Ari Sihasale ini.   Penonton diajak mengikuti perburuan mereka mencari cat sampai ke Atambua dan ternyata tidak mudah. 

Masalah semakin rumit, ketika Oscar cedera dalam lomba panjat pinang agar bisa mendapatkan kaleng cat merah dan putih.  Fasilitas kesehatan di daerah itu kurang memadai untuk kasus itu.

Dari segi cerita “Rumah Merah Putih”  sederhana, tetapi sebetulnya dalam dan berat.  Kesederhanaan ini mengingatkan pada sejumlah film Iran seperti “Children of Heaven” (1997)  tentang kakak beradik  yang kehilangan sepatu,  “White Balloon” tentang perjuangan seorang anak perempuan untuk mendapatkan seekor ikan mas sebagai peliharaan.

Adegan ketika dua sahabat Farel dan Oscar ini tertidur di emperan toko Atambua agar bisa menukar dua kaleng cat yang salah warna di sbeuah toko, begitu miris. Mereka masih mengenakan  baju seragam SD yang semakin kumuh dan makan seporsi nasi goreng berdua.

Mereka kehabisan uang justru karena menolong mengembalikan dompet seorang veteran dengan jasa tukang ojek yang mengelabui mereka. Rangkaian adegan ini  begitu natural dan penuh perjuangan mendapatkan hal yang sederhana menurut kacamata orang Jakarta, tetapi begitu luar biasa bagi orang-orang di perbatasan NTT.

Akting anak-anak NTT yang dikasting Tim Alenia Pictures patut diberi acungan jempol, sekalipun bukan hal yang baru.  Rumah Merah Putih mengingatkan juga pada “Laskar Pelangi” (2008) yang juga melibatkan anak-anak Belitung.

Kelebihan lain film ini tentunya  juga terletak pada sinematografi, panorama menakjubkan daerah perbatasan NTT yang gersang, tetapi eksotis.  “Rumah Merah Putih” mengingatkan bahwa Indonesia kaya akan pemandangan alam.

Kekurangan film ini justru terletak pada departemen kasting dari Jakarta, seperti Pevita Pearce seperti terlalu dipaksakan menjadi legam-seolah-olah orang NTT harus hitam-dan penampilannya tenggelam oleh anak-anak asli NTT.  Akting Pevita masih di bawah performanya di film lain, seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, “Buffalo Boys” hingga “Sebelum Iblis Menjemput” yang menurut saya karakter terbaik aktris kelahiran 1992 ini.

Secara keseluruhan film ini patut disambut baik, di tengah carut marutnya situasi politik tanah air saat ini.  Pesannya bahwa Aku Anak Indonesia disampaikan dengan gamblang dan merupakan visi dari Alenia Pictures yang konsisten. 

Sebagai catatan film yang tayang pada 20 Juni mendatang harus bersaing ketat di layar bioskop dengan film anak-anak  seperti “Toy Story 4” dan film Indonesia lainnya “Doremi & You”.  Meskipun demikian film ini saya jagokan setidaknya meraih beberapa nominasi  penghargaan dan Festival Film Indonesia mendatang (Irvan Sjafari)

Exit mobile version