Taiching—-Kiwari Farmer memadukan antara ilmu pengetahuan teori pertanian dan praktik pertanian, pemberdayaan petani, bisnis dan tidak mengabaikan keberlanjutan. Hasilnya, sebuah kebun kopi, ritel olahan kopi dan kafe, serta resto.
Di Kaki Gunung Manglayang, Irfan Rahadian Sudiyana mengelola lahan kopi milik keluarganya secara turun temurun di Dusun Cikawari, Desa Mekarmanik, Kabupaten Bandung seluas 4 hektar dan mengelola 16 hektar lahan milik Perhutani. Pria kelahiran Bandung 30 Januari 1990 ini memberdayakan 20 orang petani di bawah bendera Kiwari Farmer, yang dia dirikan sejak 2015.
Irfan memberikan pengetahuan kepada petani selain menghasilkan, kopi juga dapat mencegah erosi dan menjaga sumber air. Lereng Gunung Manglayang sudah banyak yang gundul. Petani cenderung menanam sayuran di lahan miring. Kondisi ini menyebabkan saat kemarau persediaan air sangat sedikit, tapi kalau hujan, banjir sering melanda wilayah di bawahnya. Dengan demikian kopi adalah tanaman konservasi sekaligus juga menghasilkan petani.
Dalam Bahasa Sunda, Kiwari berarti masa kini dan Farmer dalam Bahasa Petani. Menurut Irfan dia mengartikan sebagai Petani Masa Kini. Lahir dari keluarga petani, membuat dia bersungguh-sungguh menjadi petani dalam arti modern. Untuk itu pendidikan tingginya pun dirancang bidang pertanian, yaitu Sarjana Pertanian di Universitas Padjadjaran dan dua magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Gottingen University di Jerman.
“Saya bangga menjadi petani kopi, ibu saya juga sarjana pertanian, saya lahir dari keluarga petani dan ingin membuktikan petani itu tidak kuno,” ujar Irfan kepada Peluang.
Ladang kopi itu adalah bisnis hilirnya. Di mana dia mampu memanen 100 kilogram kopi jenis Arabika setiap hari. Di sana juga Irfan juga mendirikan peternakan luwak. Di peternakan itu sebanyak 14 ekor luwak diberi makan segenggam kopi segar dan satu kilogram daging cincang setiap hari hingga menghasilkan kopi luwak bermutu tinggi.
Kopi produksi Kiwari Farmer ada yang dijual ke kafe-kafe dan resto di kota Bandung hingga Jakarta dan dia konsumsi sendiri. Pembelinya juga ada yang dari luar negeri walaupun bukan dalam jumlah besar, seperti dari Jerman dan Amerika Serikat.
Irfan mempunyai bisnis di hulu berupa kafe dan resto di kawasan Padasuka, kota Bandung juga terhubung dengan jalur jalan ke ladang kopinya, yang bisa ditempuh dengan mengendarai sepeda motor.
“Sebelum pandemi dari dua bisnis ini saya meraup omzet hingga Rp100 juta per bulan. Ketika pandemi melanda, omzet anjlok 80 persen, namun dengan berbagai siasat, seperti diversifikasi produk peanut butter secara organik, kami bisa bertahan. Kini omzet kembali 90% seperti sebelum pandemi,” ujar pemenang Lomba Anugerah Inovasi Jawa Barat bidang Lingkungan Hidup tahun 2017 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Sempat menjadi staf pengajar di almamaternya di Universitas Padjadjaran selama berapa tahun membuat Irfan menjadi dosen yang tepat karena memadukan teori yang diajarkan, juga ilmu menanam bahkan bisnis agar komoditas yang ditanam itu prospek di pasar. Namun rupanya Irfan akhirnya memilih fokus menjadi petani sejati.
“Selain agribisnis kopi dan kafe-resto, saya juga menjalankan Coffee experience, para wisatawan bisa mengikuti perjalanan memetik kopi, mengolah kopi, . menyajikannya dan menikmatinya,” ujar ayah dari dua anak ini.
Ke depan Irfan hanya ingin menjadi entrepreneur kopi. Hingga sekarang ladang hingga kafenya menjadi tempat belajar para mahasiswa dari Fakultas Pertanian Unpad. Sekalipun dia memutuskan mengundurkan diri menjadi pengajar penuh, tetapi Unpad memintanya tetap menjadi dosen luar biasa.
“Saya siap menularkan ilmu saya kepada adik-adik dan siapa pun ingin belajar,” tutup Irfan (Irvan).