Nanda (56) bercerita dengan nada sedih. Suaranya lirih. Dia adalah salah satu nasabah asuransi AJB Bumiputera yang hingga kini belum jelas nasibnya. Dokumen polis asuransi ditunjukkannya sebagai bukti. Dia mulai menjadi nasabah asuransi Dwiguna Prima sejak 1 Mei 2003. Sejak saat itu, dia selalu membayar premi sebesar Rp2,09 juta setiap tahunnya. Dalam kontrak yang tercantum di polis, seharusnya klaimnya sudah mulai cair sejak tahun 2018.
“Kami selalu bayar premi tepat waktu. Tetapi, giliran klaim jatuh tempo, kami tidak bisa menerima manfaatnya,” ujarnya ketika ditemui awal Mei silam.
Raut wajahnya tampak masygul. Dana manfaat asuransi itu sedianya akan dia gunakan untuk membayar uang kuliah putranya. Tapi, harapan tinggal harapan. Hingga kini, nasib klaim asuransinya belum jelas juga. Dan, Nanda tentu tidak sendiri. Begitu banyak nasabah yang menjadi korban perusahaan asuransi nakal.
Maret silam, ratusan pemegang polis AJB Bumiputera 1912 yang menamakan diri Tim Biru berkumpul di depan Patung Kuda di sekitar Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka melakukan aksi damai “Gerakan Menolak PNM”.
Hujan deras yang mengguyur Kawasan Monas tak menyurutkan semangat mereka untuk berkumpul pada siang itu. Mereka seperti kehabisan akal, berharap tuntutan mereka agar manfaat asuransi yang memang hak mereka sendiri didengar oleh Presiden Joko Widodo.
Perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP) lalu menemui mereka. Sejumlah keluhan pun mereka sampaikan dalam pertemuan itu. Pertama, beberapa pemegang polis mengadu tentang nasib klaimnya karena polis mereka mulai sejak tahun 2018 belum cair sampai saat ini. Kedua, mereka mempertanyakan tentang pemegang polis yang sudah habis kontrak tidak sebagai anggota lagi. Terbukti pada saat pemilihan BPA, pemegang polis yang sudah selesai kontrak tidak diberikan hak untuk memilih anggota BPA.
Hal lainnya, mereka mengeluhkan tertutupnya komunikasi dengan 3 elemen AJB Bumiputera (Peserta RUA, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi) untuk menanyakan alasan diberlakukannya PNM. Faktanya adalah, pihak manajemen selalu mengarahkan para pemegang polis untuk menempuh jalur hukum.
Mereka berharap KSP bisa menyampaikan kepada OJK dan pihak manajemen AJB Bumiputera 1912 untuk mempertimbangkan kembali keputusan PNM karena keputusan ini karena sangat merugikan para pemegang polis.
“Opsi terakhir, kami menyarankan polis kami 50% dibayar cash segera dan 50% sisa polis dibuatkan polis baru (di-reselling), agar pemegang polis tetap menjadi anggota dan 50% uang para nasabah tidak hilang,” ujar Inten Devita Sobandi, Juru Bicara Tim Biru – Nasabah Korban Asuransi AJB Bumiputera 1912.
Daftar Panjang
Dan kasus AJB Bumiputera 1912 hanya merupakan salah satu dari daftar panjang kasus di industri asuransi di Tanah Air. Ada kasus PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life/PT WAL), PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life/PT AJK), serta Asuransi Jiwasraya.
Bisa dibayangkan berapa banyak masyarakat – yang sebetulnya sedang melakukan perencanaan keuangan dengan memanfaatkan instrument asuransi – justru menjadi korban.
Presiden Joko Widodo sebetulnya sudah berkali-kali mengutarakan kegeramannya atas maraknya kasus yang di industri asuransi. Jokowi lalu meminta OJK untuk meningkatkan pengawasan terhadap sektor keuangan di Tanah Air, terutama pada industri asuransi.
OJK sendiri tampaknya mulai membenahi industri asuransi nasional, termasuk meningkatkan perlindungan konsumen asuransi.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi, penerapan pelindungan konsumen yang dilakukan PUJK akan diawasi secara ketat oleh OJK melalui Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan atau market conduct yang mengharuskan aspek pelindungan konsumen dalam setiap proses produk yang dikeluarkan PUJK.
“Pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan yang efektif sangat kritikal agar konsumen dapat terlindungi dari praktik bisnis yang unfair sebagaimana memastikan juga bahwa tujuan dari inklusi keuangan itu juga tercapai secara bertanggung jawab dan sustain dan menjaga integritas dari sistem keuangan,” ujarnya saat berbicara pada Sosialisasi Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada ratusan pimpinan pelaku usaha jasa keuangan, beberapa waktu lalu.
Awal Mei, OJK merilis POJK Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan POJK Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
Langkah itu merupakan bagian dari upaya OJK untuk mendorong peningkatan kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi termasuk yang diselenggarakan berdasarkan prinsip syariah.
Penerbitan kedua POJK itu dilatarbelakangi dengan pertimbangan bahwa ketentuan batasan maksimum investasi pada pihak terkait untuk aset selain Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (non PAYDI) dinilai masih terlalu besar sehingga belum dapat mencegah risiko konsentrasi yang berlebihan.
Penyempurnaan peraturan dan tata Kelola tentu menjadi poin penting dalam pembenahan permasalahan pada industri keuangan di Tanah Air. Tetapi, itu saja tentu tidak cukup. Harus ada wasit yang tegas dan jeli serta pelaku usaha yang tidak nakal. Tentu saja, peningkatan literasi masyarakat terhadap produk asuransi dan keuangan lainnya juga menjadi Pekerjaan Rumah yang harus segera diselesaikan.
Semoga ke depannya industri asuransi nasional bisa lebih sehat dan kokoh. Yang paling penting, kejelasan nasib masyarakat yang sudah menjadi korban asuransi ini tentu harus segera dicarikan solusinya yang tepat. Semoga ada jalan keluar. (Tp)