hayed consulting
hayed consulting
lpdb koperasi
Opini  

Perpol 10/2025 dan Gerilya Hukum Cendekiawan Kanebo

Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra/Dok. Ist

Oleh: Edy Mulyadi

Di penghujung 2025, pemerintahan Prabowo Subianto dihadapkan pada ujian serius. Sebuah gerilya hukum untuk mengakomodasi Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 sedang berlangsung.

Perpol itu terang-terangan menabrak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan dua undang-undang sekaligus. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI serta Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Perpol ini membuka pintu bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga. Padahal putusan MK tegas melarangnya, kecuali setelah pensiun atau mundur. Sementara UU ASN pasal 19 ayat 3 menegaskan jabatan sipil tak boleh dirangkap oleh personel keamanan aktif.

Presiden Prabowo seharusnya memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mencabut perpol ngawur itu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia memerintahkan para pembantunya menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk mengakomodasi perpol. “Untuk mengakhiri polemik,” kata Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.

Penjelasan Yusril ini justru terlihat sebagai manuver untuk melegitimasi pelanggaran. Dia mengaburkan garis konstitusi demi konsolidasi kekuasaan. Berdiri di garis depan gerilya ini ada tiga profesor hukum tata negara: Yusril Ihza Mahendra, Moh. Mahfud MD, dan Jimly Asshiddiqie. Dua yang disebut terakhir adalah ketua dan anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.

Sangat mengherankan, tiga tokoh ini terlibat bahu-membahu ‘mengamankan’ Perpol yang jelas cacat hukum. Mereka mestinya paham betul bahwa perpol ini salah fatal sejak awal. Antara lain karena dalam konsiderannya sama sekali tak merujuk putusan MK yang melarang penugasan tersebut. Fakta ini membuat isu perpol bukan sekadar persoalan teknis, melainkan pertaruhan integritas intelektual di hadapan kekuasaan.

*NKRI bubar saja?*

Muhammad Said Didu bicara keras dalam podcast Bang Edy Channel, Senin, 22 Desember 2025. Obrolan berbasis rangkaian cuitan tajamnya di X pada 21-22 Desember 2025. Dia menyindir ketiga profesor sebagai ‘bemper’ yang melindungi pelanggaran konstitusi. Said bahkan menyebut ketiganya sebagai ‘cendekiawan Kanebo’, cendekiawan penghapus kotoran kekuasaan. “Jika putusan MK soal pensiun polisi bisa diakali via PP, apakah NKRI mau bubar saja?” tukasnya.

Kritik Said Didu jelas bukan serangan pribadi. Ini cerminan kegelisahan publik atas selective obedience terhadap konstitusi. Tiga tokoh tadi pasti paham benar bahwa putusan MK bersifat final dan binding. Namun dari gerilya yang tampak, putusan MK hendak diredam demi konsolidasi kekuasaan.

Jimly bahkan menjadikan final and binding ini sebagai alasan untuk tidak menganulir putusan MK yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres di Pilpres 2024. Padahal karena putusan itu, Jimly sebagai ketua Majelis Kehormatan MK, mencopot Anwar Usman dari kursi ketua MK.

Polemik ini mencerminkan krisis lebih dalam. Elite hukum yang seharusnya jadi penjaga gerbang konstitusi malah menjadi arsitek kompromi. Keterlibatan para pakar hukum tata negara dalam bergerilya untuk menaikkan perpol ke level PP justru bisa memperpanjang napas pelanggaran. Kapolri Listyo Sigit Prabowo sendiri enggan mengakui bahwa perpolnya memantik konflik. Tapi dia berterima kasih atas PP yang disusun, seolah ini bukan pembangkangan melainkan sinergi.

Padahal, sejarah Indonesia penuh pelajaran. Pengaburan batas militer-sipil, seperti di Orde Baru. Fakta ini berujung pada erosi demokrasi dan praktik bernegara kita. Ini bukan isu sepele. Ini ujian eksistensial bagi supremasi konstitusi.

Jika dibiarkan, preseden ini bisa menular ke putusan MK lain. Publik berhak menuntut gerilya hukum yang sama untuk putusan MK tentang syarat usia capres-cawapres 2024 silam. Kalau putusan MK soal larangan aparat bersenjata duduk di jabatan sipil bisa ‘diralat’ dengan PP, kenapa soal usia wapres tidak?

Para elite itu harus selalu diingatkan, bahwa rakyat bukan objek belaka. Rakyat adalah pemilik sah negeri. Kepercayaan mereka terhadap negara sedang dipertaruhkan. Said Didu menutup dengan seruan patriotik: “Selamatkan Indonesia!”. Sebuah panggilan rasional untuk introspeksi.

Prabowo, Yusril, Mahfud, dan Jimly harus berhenti bermain api. Cabut perpol. Patuhi Putusan MK sepenuhnya. Kembalikan Polri ke koridornya. Hentikan syahwat kekuasaan para elite korps Bhayangkara ini. Indonesia adalah negara hukum. Pegang prinsip ini dengan teguh. Indonesia bukan arena tarik-menarik elite.

Waktunya Prabowo bertindak, sebelum retak konstitusi jadi jurang yang mencerai-beraikan NKRI. Jangan biarkan pertanyaan publik terus menggantung. Pertanyaan sederhana: kenapa Prabowo begitu takut pada Sigit? Sepertinya pertanyaan 280 juta lebih penduduk Indonesia itu hanya bisa dijawab oleh Prabowo, Sigit, dan Jokowi. []

[Penulis adalah wartawan senior]

pasang iklan di sini
[koko_analytics_counter]
octa vaganza