hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Perlu Kerja Keras Melibatkan Masyarakat Lokal dalam Percepatan Pengembangan “Homestay”

JAKARTA—-Ada berbagai macam cara untuk melibatkan masyarakat lokal di industri pariwisata secara elegan.  Di antaranya melakukan edukasi agar mereka menjadikan rumah mereka sebagai homestay bagi wisatawan.

Menurut Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Indonesia, Kementerian Pariwisata  Anneke Prasyanti  perlu upaya keras untuk melakukan edukasi pada masyarakat. 

Rumah mereka menggunakan arsitektur lokal, memperkenalkan lokal, hingga menyuguhkan kesenian lokal pada wisatawan, melibatkan wisatawan untuk tanam padi (bila desanya di kawasan persawahan).

“Rumah penduduk di Kabupaten Tasikmalaya menggunakan arsitektur Sunda, wisatawan mendapat sajian sarapan nasi tugtug oncom, kemudian menikmati tarian Sunda malam harinya,” ujar Anneke dalam perbincangan dengan Peluang,  usai acara penutupan Otonomi Expo yang digelar Apkasi, Jumat (5/7).

Meskipun menggunakan arsitektur tradisional, fasilitas toilet seperti kloset duduk dilakukan secara modern. Begitu juga keberadaan shower bisa dibuat dari bambu atau bahan tradisional. Kehidupan modern bisa disinergikan dengan tradisional.

Meskipun demikian penggunaan bahan tradisional juga perlu diedukasi. Misalnya saja bambu harus diawetkan dulu dan tidak bisa digunakan sembarangan. Kalau ubin kamar mandi bisa saja menggunakan ubin batu dengan kualitas yang dijaga.

Itu artinya menurut alumni Arsitektur ITB ini homestay Desa Wisata antar satu daerah akan berbeda dengan daerah lain.  Dia memuji Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang mengeluarkan regulasi agar hotel yang dibangun di daerah itu menggunakan arsitektur tradisional, kalau tidak bisa eksterior bisa interiornya.

Pembangunan homestay dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.  Menurut Anneke,  Kemenpar akan mengkaji sejumlah kriteria, termasuk memberikan bintang terhadap homestay di setiap daerah, memberikan promosi secara daring.

Anneke mengakui saat ini masih banyak masyarakat yang paranoid pada pariwisata, yang dianggap merusak.  Soal lingkungan hidup juga harus diajarkan pada masyarakat. Misalnya botol-botol plastik yang banyak berserak di pantai itu harusnya bisa dikelola oleh Pemda dan masyarakat mengumpulkannya, bukannya malah bingung harus diapakan.

“Jadi banyak hal yang harus diedukasi ke masyaraat dan itu perlu kerja keras,” papar Anneke lagi.

Mengenai besaran tarifnya, Anneke  mengharapkan berkisar antara Rp75 ribu hingga Rp500 ribu rupiah. Tidak bisa lebih dari itu, karena akan tidak kompetitif.

“Pasalnya angka Rp500 ribu sudah sama dengan tarif hotel, jadi tidak kompetitif,” imbuh dia.

Saat ini Kemenpar sudah mempersiapkan tujuh ribu di seluruh Indonesia.  Anneke mencontohkan sejumlah homestay yang sudah baik di Kemiren, Banyuwangi dan di Bali (Irvan Sjafari).

pasang iklan di sini