JAKARTA—Yasid Taufik Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan,Badan Ketahanan Pangan Pertanian Yasid Taufik menyampaikan bahwa citra singkong sudah terlanjur sebagai makanan inferior, seperti dalam lagu “Anak Singkong” yang populer pada 1980-an.
Padahal singkong bisa menjadi makanan pokok subsitusi menggantikan beras atau menjadi diversifikasi pangan, yang diperlukan agar tidak membebani beras. Potensi singkong cukup besar di Indonesia mengingat produksi per tahun mencapai 20 juta ton dengan luas areal hampir 800 ribu hektar.
Badan Ketahanan Pangan Pertanian mempunyai program untuk menurunkan konsumsi beras dari 94,9 kilogram per kapita per tahun pada 2020 menjadi 85,6 kilogram per tahun pada 2024. Sementara singkong ditingkatkan dari 8.6 kilogram per kapita per tahun menjadi tiga kali lipat pada 2024.
“Memang diperlukan inovasi agar singkong menjadi makanan yang mudah disebar dan tahan lama, serta promosi yang terus-menerus. Selama ini ada pelaku usaha yang menjadikan singkong dengan inovasinya seperti singkong keju, tetapi citranya sebagai makanan camilan,” ujar Yasid dalam Webinar “Makan Singkong Bikin Sehat” yang digelar Tabloid Sinar Tani bersama Badan Ketahanan Pangan, Kamis (12/8/21).
Selain diperlukan sentra baru ubi kau atau singkong yang selama ini terpusat di Lampung dan Jawa, selain perubahan citra makanan singkong.
Sementara Guru Besar Universitas Jember, Prof Achmad Subagio memberikan padangan senada, mengatakan, masyarakat cenderung mengonsumsi nasi, bukan hanya faktor harga, tetapi telah ada kesan nasi lebih enak dan gaya hidup.
“Kita perlu mengubah persepsi secara nasional terhadap pangan kita. Kalau tidak dilakukan sacara struktur dan sistematik, kita sulit. Ini yang melakukan harus pemerintah,” ujar Subagio.
Subagio menyarankan, preferensi masyarakat tentang pangan harus diperbaiki, di antaranya kurikulum tentang pangan harus mulai dibangun mulai TK dan SD. Dimulai dari jenis pangan yang beragam, yang ada di sekitar (Van).