octa vaganza
Fokus  

Perkuatan Modal Dari Luar Koperasi Butuh Keberpihakan Pemerintah

Penambahan modal dari luar koperasi bisa berbentuk utang, modal penyertaan dan obligasi. Namun faktanya sangat jarang koperasi yang menerbitkan obligasi.

Modal bagi lembaga ekonomi dan keuangan seperti koperasi ibarat darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Dengan modal yang kuat, koperasi akan leluasa untuk mengembangkan usahanya  dan keberlanjutan lebih terjamin daripada modal cekak. Oleh karena itu, koperasi perlu mempertebal permodalan agar usahanya bisa terus berkesinambungan.

Setyo Heriyanto, Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Koperasi Jasa Keuangan (LSP KJK) mengatakan, pemupukan modal Koperasi dapat berasal dari dalam maupun dari luar Koperasi. Pemupukan dari dalam Koperasi dapat dilakukan melalui modernisasi pengelolaan Simpanan Wajib. Caranya bisa dengan mengintensifkan pemasukan Simpanan Wajib melalui proposal program–program pengembangan usaha baru. “Pengurus perlu kreatif untuk mengeksplorasi pengembangan bisnis baru agar anggota meningkatkan simpanannnya,” ungkap Setyo.

Selain dari dalam, perkuatan modal koperasi bisa dilakukan dari luar koperasi seperti dari Perbankan atau Lembaga Keuangan Non Bank. Instrumen untuk penghimpunan modal dari luar koperasi bisa berupa utang, modal penyertaan, dan obligasi.

Pada praktiknya, hingga kini belum ada koperasi yang memperoleh permodalan dari luar terutama yang berasal dari penerbitan obligasi. Hambatan regulasi dan berbagai faktor internal koperasi kerap dituding sebagai penyebab hal tersebut.

Setyo menambahkan, perlu keberpihakan pemerintah, dalam hal ini keberpihakan regulasi untuk memperkuat permodalan koperasi dari pihak luar. “Peran Pemerintah sangat dibutuhkan agar koperasi bisa mendapatkan perkuatan permodalan dari luar koperasi,” tambah Setyo.

Intervensi yang bisa dilakukan Pemerintah antara lain memperbaiki rencana bisnis bank (RBB) dengan mewajibkan perbankan untuk mengalokasikan portofolio kreditnya dalam persentase tertentu khusus untuk koperasi. Selama ini yang sudah dilakukan Bank Indonesia adalah mewajibkan penyaluran kredit kepada UMKM sebesar 20% dari total kredit. Regulasi itu bisa diadopsi dengan alokasi kredit khusus untuk disalurkan kepada koperasi.

Kebijakan afirmasi ini dibutuhkan agar perbankan mau mengalokasikan kredit untuk koperasi. Belajar dari pengalaman mandatori kredit UMKM sebesar 20% dari total kredit, tidak semua bank mematuhi ketentuan tersebut. Ada yang lebih memilih denda karena khawatir kredit bermasalahnya macet.  Sebagai jalan tengah, BI dan OJK perlu memetakan perbankan yang selama ini cukup akrab dengan koperasi agar meningkatkan portfolio kreditnya untuk lembaga sokoguru perekonomian tersebut.

Selain itu, Pemerintah juga bisa mendorong peningkatan portofolio penjaminan kredit koperasi pada perusahaan penjaminan seperti Jamkrindo maupun Jamkrida. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah menerbitkan relaksasi persyaratan koperasi untuk menerbitkan obligasi.

Selama ini salah satu aturan yang mengganjal koperasi untuk menerbitkan obligasi adalah peraturan OJK tentang Modal Saham. Padahal di koperasi tidak mengenal istilah modal saham. Oleh karenanya perlu harmonisasi peraturan agar Koperasi bisa mudah menerbitkan obligasi.

Lebih lanjut, menurut Setyo, selain membutuhkan dukungan pemerintah, Koperasi pun harus meningkatkan kesehatan kelembagaan maupun kinerjanya. Ini penting agar kepercayaan publik pada koperasi tetap terjaga. “Koperasi juga harus terus mengembangkan Kesehatan dan kapasitas organisasinya agar pihak luar tidak ragu terhadap kemampuan koperasi,” ungkap Setyo.

Peningkatan kapasitas dan kapabilitas Koperasi harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Ambil contoh dalam hal akses perkreditan, Koperasi harus didukung dengan SDM Pengurus, Pengawas, dan Pengelola yang memiliki sertifikasi yang diterbitkan oleh LSP. Selain itu, mempunyai kelembagaan yang berkualitas yang dibuktikan dengan hasil Pemeringkatan Koperasi oleh Lembaga Independen serta proposal kelayakan usaha.

Selain permodalan, Setyo juga mengusulkan agar Koperasi memperbesar skala bisnisnya dengan  menyusun bisnis model/tata niaga untuk komoditas tertentu, dengan fungsi dan peran pada setiap level Koperasi yang berbeda. “Struktur bisnis Koperasi perlu diperluas dan saling terhubung agar bisa memasuki rantai pasok global,” katanya.

Untuk pembagian perna, Koperasi Induk dapat bertindak sebagai eksportir dan di tingkat pusat sebagai pengumpul produk. Sementara di tingkat primer dapat difungsikan sebagai branding, standarisasi, maupun packaging. Sedangkan koperasi anggota primer dapat berfungsi sebagai produsen barang/produk.

Dengan jobdesk yang jelas tersebut akan tercipta ekosistem bisnis koperasi yang sehat dan berdaya saing. Transformasi bisnis perlu dilakukan agar koperasi tidak sekadar jago kendang tetapi juga bisa go international seperti yang terjadi pada Koperasi Besar Dunia.

Setelah mendorong koperasi memasuki sektor produksi, kini gerakan Koperasi Indonesia menunggu gebrakan dari Pemerintah untuk “mengkondisikan” agar koperasi mudah dalam menerbitkan obligasi. (Kur).

Exit mobile version