octa vaganza

Pengusaha Kebun Sawit Diberi Deadline Urus Perizinan hingga 2 November 2023

Peluangnews, Jakarta – Pemerintah menargetkan agar tata kelola perkebunan kelapa sawit, khususnya yang ada di dalam kawasan hutan rampung pada 2 November 2023. Hal itu sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, di mana aturan-aturan yang tertuang dalam UU tersebut harus dirampungkan tiga tahun setelah diundangkan.

Untuk mempercepat penyelesaian masalah kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan Presiden Joko Widodo pun telah membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keppres nomor 9 tahun 2023. Dalam hal ini, para pengusaha perkebunan sawit diminta untuk mematuhi aturan yang berlaku, seperti memiliki izin lokasi dan izin usaha di bidang perkebunan serta sesuai tata ruang yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

“Pembentukan Satuan Tugas bertujuan melakukan penanganan dan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit serta penyelesaian dan optimalisasi penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak pada industri kelapa sawit,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, di acara sosialisasi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang dilaksanakan di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2023).

Sebagaimana diketahui, ada 16,3 juta hektare kebun sawit di Indonesia. Dengan kebun sawit yang ada dalam kawasan APL atau bukan kawasan hutan yakni seluas 13 juta hektare.

Sementara yang ada dalam kawasan hutan sebanyak 3,37 juta hektare. Secara rinci, ada 19.074 hektare kebun sawit berada dalam hutan konservasi, 155.119 hektare kebun sawit ada di hutan lindung, 501.572 hektare kebun sawit ada di dalam hutan produksi tetap, 1.4 juta hektare kebun sawit ada di hutan produksi terbatas dan 1,1 juta hektare kebun sawit di dalam hutan produksi yang dapat dikonversi.

Selanjutnya, dari keseluruhan kebun sawit di Indonesia, yang belum berproses atau mengantongi permohonan ada seluas 2,2 juta hektare, yang merupakan kebun milik korporasi dan masyarakat. Sementara itu yang sedang dalam proses permohonan yakni sebanyak 913.250 hektare.

Bambang menyatakan, berkenaan dengan tata kelola perkebunan kelapa sawit, terdapat Inpres 8 Tahun 2018 dan Inpres 6 Tahun 2019 di mana semuanya bertujuan untuk perbaikan tata kelola yang berkelanjutan. Pada Inpres 8 Tahun 2018, KLHK diberikan instruksi untuk mengidentifikasi indikasi perkebunan sawit dalam kawasan hutan dan telah dilaksanakan bersama-sama dengan kementerian dan lembaga untuk dirumuskan penyelesaiannya secara adil dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan.

Berdasarkan hasil laporan Inpres 8 Tahun 2018 tersebut maka pada UU CK Nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana saat ini telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 telah dinyatakan bahwa penyelesaian perkebunan sawit dalam kawasan hutan terbagi menjadi dua kluster tipologi sesuai dengan Pasal 110A dan Pasal 110B.

Kategori Pasal 110A ini adalah perkebunan kelapa sawit terbangun yang mempunyai izin usaha perkebunan dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan tetapi statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Hal ini terjadi dikarenakan adanya dispute tata ruang sebelum UU 26 Tahun 2007 dengan kawasan hutan.

Yang kedua, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan. Penyelesaiannya akan diselesaikan melalui pengenaan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar denda administratif di bidang kehutanan.

“Pada kesempatan ini saya berharap seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang saat ini terindikasi berada dalam kawasan hutan untuk segera memenuhi seluruh persyaratan sesuai Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja agar seluruh aspek perizinan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit menjadi tuntas secara menyeluruh,” beber dia.

Sanksi Lewati Batas Waktu

Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan, dalam mekanisme 110A, jika pelaku usaha telah memenuhi syarat, maka akan dilakukan pelepasan. Adapun, mereka harus mengurus administrasi untuk masuk dalam kategori 110A paling lambat 3 Agustus 2023.

Lalu bagi perusahaan yang tidak memiliki izin atau masuk dalam pasal 110B, maka pelaku usaha wajib membayar sanksi administrasi hingga bisa pada pencabutan izin usaha. Dalam aturan tersebut, jika tidak memenuhi kewajiban pembayaran sanksi administrasi dengan nilai sekurang-kurangnya Rp1 miliar.

“Ini kesempatan baik bagi perusahaan karena pemerintah akan menerapkan penegakan hukum dan penyelsaian pelaskanaan kawasan hutan dengan mengedepankan pendekatan restorative justice dengan tujuan terwujudnya kebermanfaatan yang besar dan keadilan serta kepastian hukum bagi para pihak yang berkaitan,” pungkas Rasio.

Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Agustina Arumsari mengungkapkan, tata kelola perkeunan kelapa sawit itu dilakukan atas dasar temuan BPKP pada 2021 dan 2022 yang melihat adanya kelangkaan minyak goreng curah. BPKP kemudian menemukan fakta bahwa banyak kebun kelapa sawit yang masik ke dalam hutan.

Ia juga mengingatkan kepada pengusaha kebun sawit agar mengisi data dengan benar dan tepat serta memenuhi persyaratan yang telah ditentukan pemerintah untuk dilakukan pelepasan.

“Diharapkan pelaku usaha menginput data dengan benar. Karena semuanya nanti akan kami validasi, kami klarifikasi dan jika nanti ada permasalahan teridentifikasi kami akan memberikan rekomendasi kepada kementerian terkait bagaimana penyelesaian yang dihadapi perusahaan tersebut,” tegasnya. (Aji)

Baca Juga: Dari 3,4 juta Ha Lahan Sawit di Kalbar hanya 1,9 Juta Ha bersertifikat HGU

Exit mobile version