
PeluangNews, Jakarta – Pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting berpendapat kepergian mantan Presiden Joko Widodo ke Vatikan untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus, dapat berimplikasi negatif dari sisi diplomasi dan politik bagi Indonesia di mata internasional.
Alasannya, pertama; Jokowi bukan lagi kepala negara maupun kepala pemerintahan aktif. Sedangkan Paus bukan sekadar pemimpin agama Katolik dunia, melainkan juga Kepala Negara Vatikan.
Kedua, ada laporan tentang Jokowi dari OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project), sebuah organisasi jurnalistik investigasi internasional yang fokus pada pelaporan kejahatan terorganisir dan korupsi di seluruh dunia. Jokowi masuk dalam daftar finalis pemimpin korup versi OCCRP 2024.
Ketiga, publik di Indonesia dan dunia mengritik kemampuan komunikasi publik Jokowi yang dianggap tidak representatif secara diplomatik untuk negara sebesar Indonesia. Penguasaan bahasa asingnya sangat lemah untuk hubungan internasional.
Dari sisi hubungan internasional, kata Ginting, kehadiran Jokowi di Vatikan mengandung risiko berat bagi diplomasi Indonesia. Apalagi jika negara-negara Barat menanggapi laporan OCCRP secara serius dan mengaitkan kehadiran Jokowi sebagai sinyal lemahnya komitmen Indonesia terhadap pemberantasan korupsi.
“Mendiang Paulus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin sederhana dan anti-korupsi. Bertolak belakang dengan Jokowi, karena kesederhanaannya merupakan pencitraan politik,” kata Ginting, yang akademisi Unas itu, kepada PeluangNews, Jumat (24/4/2025)
Dalam laporannya, lanjut dia, OCCRP menempatkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad, sebagai pemenangnya. Jokowi sebagai finalis pertama, diikuti William Ruto (Presiden Kenya), Bola Ahmed Tinubu (Presiden Nigeria), Sheikh Hasina (mantan Perdana Menteri Bangladesh), dan Gautam Adani (pengusaha India).
Sebagaimana diberitakan, selain Jokowi, rombongan utusan Presiden Prabowo Subianto ke Vatikan, juga Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, dan Menteri HAM Natalius Pigai. Ketiganya beragama Katolik.
Pengamat yang biasa disapa Bung Ginting itu mengutarakan, dari sisi politik domestik, kepergian Jokowi ke Vatikan juga dapat berimplikasi negatif. Potensi delegitimasi pemerintahan baru Prabowo Subianto apabila publik menilai keputusannya sebagai bentuk perlindungan terhadap tokoh bermasalah.
“Sebab Jokowi sedang mendapatkan sorotan dalam kasus dugaan ijazah palsu di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kebohongan publik dalam kasus mobil Esemka. Kedua kasus itu sedang dalam persidangan awal,” kata dia.
Ginting menambahkan, Presiden Prabowo bisa dituding memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk kabur ke luar negeri menghindari persidangan yang menyeret Jokowi.
“Jadi sangat tidak menguntungkan bagi Prabowo mengizinkan atau mengutus Jokowi ke Vatikan,” katanya.
Dalam memahami kepergian Jokowi ke luar negeri, menurut dia, tentu saja ada kalkulasi politik yang kemungkinan dilakukan Presiden Prabowo Subianto. Sepertinya Prabowo sangat menjaga stabilisasi politik dengan cara menjaga harmoni politik dengan Jokowi. Tujuannya untuk memastikan stabilitas politik di awal pemerintahan dan menghindari fragmentasi koalisi kekuasaan.
Namun di sisi lain, bisa juga hal ini sebagai langkah pengasingan simbolik. Tujuannya mengalihkan Jokowi ke ranah diplomatik internasional untuk menjauhkan dari dinamika politik domestik yang sensitif. Mengingat Jokowi sedang mendapatkan sorotan dari civil society maupun forum purnawirawan prajurit TNI yang terdiri dari 200-an perwira tinggi dan 90-an kolonel. Bahkan terdapat nama Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, Letjen Marinir (Purn) Suharto, Mayjen (Purn) Sunarko, dan lain lain.
“Maka bisa jadi Presiden Prabowo sedang memberikan perlindungan politik kepada Jokowi yang perlahan-lahan pengaruh politiknya mulai lemah. Prabowo tampaknya sedang memberikan peran ‘terhormat’ untuk Jokowi guna menghindari konflik terbuka atau tuntutan hukum langsung terhadap Jokowi yang memberikan warisan buruk bagi demokrasi di Indonesia,” ucap Ginting.
Dia berharap Presiden Prabowo cukup mengirimkan pejabat maupun mantan pejabat Indonesia yang beragama Katolik untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Hal itu sebagai bentuk citra dan penghormatan Indonesia kepada dunia Katolik dan komunitas internasional.
“Tidak ada urgensi yang memaksa untuk mengirimkan Jokowi sebagai mantan presiden yang akhir masa jabatannya penuh dengan kontroversi negatif. Repot jika Jokowi harus berpidato, malah kesannya justru akan mempermalukan Indonesia akibat minimnya literasi Jokowi,” imbuh Ginting, menutup.[]