Pengamat: Jokowi Bukan Ketum Partai Mustahil Pimpin Koalisi Besar

Presiden Joko Widodo/Dok. Tangkapan Layar-Hawa

Peluang News, Jakarta – Wacana menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai ketua dalam koalisi besar pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menimbulkan polemik di ruang publik.

Wacana membentuk koalisi besar pertama kali dilontarkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie. Partainya, kata Grace, mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi parta politik yang punya kesamaan visi dalam mewujudkan Indonesia emas.

“Saya pikir ide bagus juga, Pak Jokowi mungkin bisa jadi ketua dari koalisi partai-partai, semacam barisan nasional, partai-partai mau melanjutkan atau punya visi yang sama menuju Indonesia emas,” katanya.

Menurut dia, Jokowi dapat menjadi sosok yang mempersatukan atau menjembatani kepentingan partai-partai politik. Kata Grace, tidak mudah mencari seseorang yang bisa menjembatani semua partai politik dan perkataannya dapat mempersatukan partai-partai tersebut.

“Enggak banyak sih saya pikir yang dengan orang rela ya untuk menerima dan hari ini saya pikir Pak Jokowi satu-satunya orang,” tuturnya.

Usulan Grace kemudian direspon pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti yang justru mempertanyakan wacana itu.

Ikrar menegaskan wacana membentuk koalisi besar harusnya berasal dari presiden yang diusung oleh koalisi tersebut, dalam hal ini Prabowo Subianto. “Bukan ujug-ujug menyodorkan nama Jokowi sebagai pemimpin koalisi,” tandas mantan Dubes Tunisia itu, Sabtu (16/3/2024).

Menurut Ikrar, sulit bagi Jokowi memimpin koalisi karena ia bukan ketua umum partai politik.
“Ketua koalisi itu kan pada masa itu digagas oleh presiden, pertanyaan saya apakah Prabowo memang menggagas adanya koalisi besar itu?” ujar mantan Dubes Tunisia itu.

Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut mengungkapkan, koalisi besar pernah terbentuk di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) demi menjaga kekompakan partai-partai politik pengusungnya.

Ketika itu, katanya, SBY membentuk koalisi besar karena ada beberapa partai politik pendukungnya yang justru bersuara miring.

“SBY melihat ini partai-partai koalisi yang mendukung SBY pada saat itu terkadang bandel juga, di parlemen masih bersuara-suara nyinyir. Makanya kemudian ketua umum Partai Golkar pada saat itu, Aburizal Bakrie, diangkat oleh SBY menjadi ketua koalisi,” kata dia.

Ikrar juga mempertanyakan peran yang akan diemban Jokowi bila menjadi pemimpin koalisi besar nanti. Dia menilai mustahil koalisi besar dipimpin oleh sosok yang tidak berstatus sebagai ketua umum partai politik seperti Jokowi.

“Kalau dia akan menjadi pemimpin dari koalisi politik tersebut, kemudian posisi dia apa? Maksud saya, kalau dia menjadi ketua, dia harus ketua partai, enggak mungkin lah ujug-ujug,” tuturnya.

Oleh sebab itu, Ikrar menilai tidak mungkin Jokowi bakal memimpin koalisi besar, apalagi bila koalisi tersebut akan dipermanenkan demi mencapai target Indonesia emas pada 2045.

Selain wacana agar Jokowi memimpin koalisi besar, ia juga digadang-gadang akan menjadi ketua umum Partai Golkar.

Terkait hal itu, mantan Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, partainya memiliki mekanisme dalam memilih ketua umum.

Setiap orang yang dapat menjadi ketua umum Golkar, katanya, setidaknya sudah menjadi anggota partai beringin selama lima tahun. []

Exit mobile version