JAKARTA—-Bbeberapa waktu lalu ditandatangani Kesepakatan Indonesia Australia – Comprehensif Eonomic Partnership Agreement (IA-CEPA), di antara yang poinnya membebaskan bea masuk untuk sapi impor dari Australia ke Indonesia.
Hal itu menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman harus disikapi positif. Walaupun akan ada penetapan batasan untuk jumlah sapi impor yang tidak terkena bea masuk, pemerintah sebaiknya tetap memangkas rantai distribusi dan juga mendorong efisiensi beternak bagi para peternak sapi lokal.
Menurut ilman panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal memengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran. Hal ini terjadi karena munculnya biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi. Daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen.
“Rantai distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi ke pedagang berskala kecil atau ke feedlot. Kemudian berlanjut ke pedagang berskala besar, pedagang regional, pedagang grosir di rumah potong hewan, pedagang grosir di pasar, pedagang eceran hingga ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen,” papar dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/3/2019).
Lanjut dia, sistem distribusi daging sapi impor hanya membutuhkan maksimal dua titik distribusi untuk mencapai konsumen.
Rantai distribusi ini tercipta karena daging sapi impor merupakan produk siap masak yang tidak membutuhkan tempat penggemukan hewan, rumah potong hewan dan para pedagang di tempat penampungan ternak sebelum dapat dikonsumsi.
“Selain itu, pengembangan ternak sapi di Indonesia juga kerap menghadapi tantangan, seperti kurangnya kapasitas peternak serta minimnya penguasaan mereka terhadap teknik ternak dan teknologi yang efisien,” kata Ilman.
Efisiensi peternakan dapat dimulai dengan adanya modernisasi praktik peternakan yang berfokus pada minimalisasi biaya produksi. Walau ada sebagian yang sudah melakukan hal tersebut seperti melalui modernisasi alat pemotongan.
“Sayangnya ada juga peternakan lain di Indonesia yang walaupun sudah melakukan hal tersebut tapi masih harus mengeluarkan biaya produksi yang mahal karena memang minimnya skala keekonomian peternakan mereka (karena sedikitnya jumlah sapi dalam satu peternakan),” tutur dia.
Inovasi di bidang pakan ternak juga perlu gencar dilakukan. Karena peternak tidak memiliki kapasitas untuk berinovasi, perlu kerja sama antara peternakan dengan lembaga penelitian di bidang teknologi. Contoh yang sudah ada adalah kerjasama serupa di Sumatera Utara antara peternak dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
“Terakhir, program yang menunjang pengelolaan resiko di industri peternakan sapi perlu terus digalakan. Satu contoh yang telah dijalankan adalah Fasilitas Asuransi Usaha Ternak Sapi yang telah digalakan oleh Kementerian Pertanian,” pungkas Ilman.