octa vaganza

Peneliti CIPS Usul Pemerintah Dorong Pertumbuhan Sekolah Swasta Berbiaya Rendah

Kondisi sebuah sekolah swasta di Jakarta-Foto: the Conversation.

JAKARTA—-Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pandu Baghaskoro mengungkapkan pemerintah harus mendorong pertumbuhan sekolah swasta berbiaya rendah.

Pasalnya, banyak alasan yang dihadapi orangtua berpenghasilan rendah tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri, seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak bisa memenuhi dokumen persyaratan dan di beberapa daerah letaktepat tinggal dan sekolah yang dituju berjauhan.

“Sekolah  swasta berbiaya murah adalah alternatif bagi  mereka yang sulit mengakses  pendidikan disekolah negeri,’’ ujar  Pandu dalam siaran persnya, Selasa (8/1/2019).

Berdasarkan hasil penelitian dari CIPS, jumlah sekolah swasta di Indonesia adalah 35% dari total jumlah sekolah secara keseluruhan. Di sejumlah daerah, jumlah sekolah swasta bahkan lebih banyak dari sekolah negeri.

“Salah satu contohnya adalah di Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Di wilayah yang terbilang miskin ini terdapat 86 sekolah swasta dan 77 sekolah negeri. Sebanyak 51 dari 86 sekolah swasta tersebut merupakan sekolah swasta berbiaya rendah,”  papar Pandu.

Sekolah swasta berbiaya rendah mencakup 59% dari sekolah swasta di Kecamatan Koja dan 31% keseluruhan sekolah di Koja.

“Sebuah sekolah swasta dianggap berbiaya rendah apabila uang sekolah bulanannya sama dengan atau lebih rendah dari Rp 300.000. Angka ini kurang dari 10% dari  Upah Minimum Provinsi (UMP) bulanan di DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp3.355.750,” jelas dia.

Biaya ini umumnya digunakan untuk menanggung biaya operasional terkait perawatan atau  rehabilitasi bangunan, seragam, buku pelajaran dan aktivitas ekstrakurikuler seperti karyawisata sekolah. Namun biaya ini juga bisa digunakan untuk menanggung investasi baru, seperti tambahan sarana dan prasarana sekolah.

Walaupun berbiaya rendah, sekolah-sekolah ini memiliki kualitas yang baik. Sekolah-sekolah swasta berbiaya rendah di Koja sudah mendapatkan akreditasi A dan B dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Sebanyak delapan sekolah mendapatkan akreditasi A dan 40 sekolah mendapatkan akreditasi B.

Status akreditasi, jelas Sila, sangat penting bagi sekolah berbiaya rendah karena merupakan prasyarat untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah. Status akreditasi ini juga menunjukkan kalau sekolah-sekolah ini sudah memenuhi standar nasional.

Pemerintah belum memberikan dukungan terhadap kehadiran sekolah swasta berbiaya rendah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peraturan-peraturan yang menghambat pertumbuhan sekolah ini.

Pada 2005 lalu, penerapan Peraturan Pemerintah  (PP) nomor 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil menghakibatkan penarikan guru-guru honorer dari sekolah-sekolah swasta.

Selain itu lanjut dia masih ada regulasi lain yang dinilai menghambat pembangunan sekolah swasta berbiaya rendah. Regulasi yang dimaksud adalah peraturan Kementerian Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 24 tahun 2007 tentang standar fasilitas dan infrastruktur Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menegah Pertama/Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah Menengah Akhir/Madrasah Aliyah.

“Contohnya, untuk mendirikan sebuah Sekolah Dasar dengan enam kelas yang masing-masing kelasnya menampung sampai dengan 15 siswa, mereka diharuskan memiliki lahan minimal sebesar 1340m 2 dan luas bangunan minimal sebesar 400 meter persegi . Peraturan ini tentu saja berimbas pada biaya yang harus dikeluarkan oleh para pendiri sekolah. Keterbatasan lahan di perkotaan juga menjadi hambatan,” pungkasnya.

Exit mobile version