CIMAHI-—Yeni Hadianti masih mengingat kunjungan di suatu kampung di Jawa Barat beberapa tahun yang silam. Guru SD di Cimahi ini mendongeng dengan bantuan media boneka yang dipanggilnya dengan Neng Geulis. Dongeng yang diceritakannya bukan puluhan anak-anak terpana. Hal yang biasa dihadapi aktivis Rumah Dongeng Cimahi ini.
Namun ketika pulang orangtua seorang anak menghubunginya. Rupanya sang anak menangis semalaman karena menginginkan boneka yang menemani Yeni untuk mendongeng. Karena tidak tega terhadap anak itu, akhirnya Yeni merelakan Neng Geulis versi pertama untuk diadopsi anak itu.
“Alhamdullilah, kami jadi bersahabat. Sampai sekarang masih merawat Neng Geulis dan sampai sekarang kita masih WA-an. Dia cerita bonenakanya masih diurus dan masih dirawat. Suka tidur bareng sama dia,” kenang Yeni ketika ditanya Peluang soal pengalamannya menjadi pendongeng lebih dari sepuluh tahun.
Menurut Yeni, mendongeng memberikan kebahagian bagi anak sekaligus juga dirinya. Yeni mengaku terharu menyaksikan anak-anak tertawa, melongo, wajah mereka bisa serius, bahkan mereka bisa menangis juga, ketika dia membawakan sebuah cerita.
“Kami relawan Kampung Dongeng tidak mengharapkan apa-apa. Kami hanya ingin memberikan pesan moral pada anak melalui dongeng,” ujar Yeni.
Menurut dia, para pendongeng bisa menularkan virus literasi. Anak-anak jadi penasaran dan ingin tahu tentang buku-buku yang diceritakannya. Dengan dongeng, pencerita menanamkan karakter pada anak tanpa disadarinya. Anak-anak bisa menerima pesan tanpa dinasehati atau digurui.
“Tentunya ada “Neng Geulis” lainnya. Saya memakai nama itu karena dia boneka orang Sunda. Saya ingin menyampaikan Neng geulis anak Sunda yang menyukai permainan tradisional. Dia tidak pernah lupa pada budaya Sunda,” ujar alumni Pendidikan Luar Sekolah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung ini.
Dari awal Yeni mengaku mendongeng sudah memakai media boneka. Namun dia tidak menutup kemungkinan juga saya mendongeng dengan cara yang lain. “Saya menggunakan ekspresi wajah dan teknik suara yang berbeda. Itu kekuatan Sang Pendongeng,” pungkas dia.
Dongeng Bisa Interaktif
Menggunakan ekspresi dan teknik suara berbeda pernah Peluang temui di Sekolah Cerdas Gemilang, milik Yayasan Alang-alang di kawasan Ciawi, Jawa Barat. Beberapa waktu lalu dalam sebuah acara di Rumah KAIT milik yayasan itu, saya berkesempatan menyaksikan Nova Agnesha Rayaski (Nova) dan Ismadi Dwiansyah (Dwi) melakonkan dongeng tentang seorang anak bernama Gilang di depan puluhan anak-anak. Bahkan dongeng itu dilakuakn secara interaktif melibatkan anak-anak untuk ikut memberikan pendapatnya.
Suatu pagi terdengar kokok ayam membangunkan para anak-anak yang sedang tidur. Suara Nova mengawali dongeng interaktif ini. Kemudian diikuti suara Dwi menirukan suara ayam: kukuruyuk khas cara mendongeng dari teman-teman Alang-alang. Lanjut Nova: Gilang tertidur di kamarnya dan dibangunkan oleh ibunya: Gilang! Gestur tubuh Nova dan Dwi pun mengikuti narasinya.
Dongeng ini cara kedua staf pengajar Sekolah Cerdas Gemilang itu untuk menyampaikan pesan untuk membersihkan giginya dua kali sehari dan menerangkan akibat tidak menggosok gigi, mulai dari bau mulut hingga gigi berlubang.
Saya juga pernah menyaksikan kedua pendongeng ini menceritakan tentang burung hantu dengan pesan moral. Berkaitan dengan lingkungan hidup. Pesan ini akan tertanam di pikiran anak-anak untuk menjaga kelestarian hutan dan hewan yang terancam punah.
“Tersebutlah kisah ibu burung hantu harus meninggalkan anaknya untuk mencari makan. Dalam usahanya mencari makan, ibu burung hantu bertemu serombongan manusia yang sedang menebang pohon. Salah seorang di antara menembaknya hingga terkapar. Sementara Sang Anak menunggu kedatangan ibunya dengan penuh harap. Namun hingga dewasa jangankan ibunya kembali, pohon tempat kediamannya ditebang.”
Nova dan Dwi mendongeng di Sekolah Cerdas Gemilang-Foto: Irvan Sjafari.
Para anak-anak bukan saja mendengarkan dongeng tetapi seolah-olah terlibat di dalam cerita itu.
“Kami melakukan bukan hanya pendidikan tetapi pedagogig memasukan unsur mental dan pembentukan karakter, salah satu cara dengan dongeng,“ ujar Melati Djoenaedi pengaggas Yayasan Alang-alang (Irvan Sjafari)