Jakarta (Peluang) : Penyaluran bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 24,1 triliun pertanda kekhawatiran pemerintah menurunya daya beli masyarakat jika bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penambahan dana bantuan sosial (Bansos) sebesar Rp 24,1 triliun merupakan sinyal kuat pemerintah untuk kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
“Penambahan bansos Rp 24,1triliun, termasuk untuk tenaga kerja. Pemerintah khawatir kalau BBM subsidi naik, inflasi naik juga dan daya beli merosot. Ya jadi bisa ditebak, sepertinya akan ada kenaikan harga BBM subsidi dalam waktu dekat. Ini sinyal yang tidak bisa ditutupi,” kata Bhima.
Bhima menilai anggaran penambahan bansos untuk kompensasi kenaikan harga BBM subsidi sebesar Rp 24,1 triliun itu terlalu kecil. Menurutnya, pemerintah jangan hanya fokus pada tambahan bansos untuk orang miskin atau 40 persen kelompok pengeluaran terbawah. Karena kelas menengah rentan jumlahnya 115 juta orang, itu perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM.
“Tidak bisa berhenti pada PKH (Program Keluarga Harapan) atau BLT (Bantuan Langsung Tunai), tapi para pekerja yang upah minimumnya cuma naik 1 persen perlu dibantu dengan skema subsidi upah nominal lebih besar dibanding tahun 2020-2021,” ungkap Bima.
Begitu juga dengan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) perlu diberikan dana kompensasi. Misalnya kata Bima, bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dinaikkan dua kali lipat maupun diberikan bantuan permodalan.
“Harga BBM bersubsidi naik, semua bisa terdampak. Bahkan yang selama ini tidak menggunakan subsidi juga ikut kena inflasi,” kata Bhima.
Terkait waktu pencairan bansos kompensasi BBM menurut dia, harus menjadi perhatian pemerintah. “Jangan sampai harga BBM naik, tapi bansosnya baru dihitung, belum 100 persen cari. Maka efeknya sudah bisa menurunkan konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini penyaluran bansos kerap bermsalah pada pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya BBM mau naik bulan September, maka bansos kompensasi idealnya akhir Agustus sudah cair semua.
Selain itu, data penerima bansos baik BLT maupun para pekerja yang berpenghasilan kurang dari Rp3,5 juta per bulan. Database pemerintah masih berkutat pada pekerja formal, sementara pekerja informal seringkali tidak masuk dalam penerima bansos.
“Data pekerja rentan sangat dinamis. Idealnya, Badan Pusat Statistik (BPS) segera lakukan survey spesifik terkait pekerja informal by name dan by address,” tandasnya. (S1).