
Peluang News, Jakarta – Pemerintahan era Jokowi gagal ciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas, hal ini tercermin dari masih tingginya angka kemiskinan di sejumlah daerah. Pasalnya, perekonomian yang tumbuh di kisaran 5% satu dekade terakhir tak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
“Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi era Presiden Jokowi cenderung tidak inklusif,” ujar Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono kepada Media Indonesia melalui keterangannya yang dikutip pada Kamis (13/6/2024).
Pertumbuhan yang tak inklusif itu secara nyata terlihat di wilayah yang menjadi destinasi investasi penghiliran produk sumber daya alam (SDA). Di wilayah-wilayah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi imbas penanaman modal tak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Morowali, misalnya, menjadi contoh terdepan adopsi hilirisasi berbasis ekstraktivisme. Terjangan hilirisasi menerpa Morowali sejak 2015 ketika pangsa sektor industri pengolahan terhadap PDRB melonjak dari hanya 12% pada 2014 menjadi 30% pada 2015.
Pada 2022, wajah daerah kaya nikel itu berubah drastis dengan kontribusi industri pengolahan dalam perekonomian menembus 73%. Seiring derasnya hilirisasi, pertumbuhan ekonomi Morowali melesat, menembus 38% per tahun sepanjang 2015-2022.
Peran PDRB Morowali dalam PDB nasional melonjak dari hanya 0,07% pada 2014 menjadi 0,75% pada 2022. Namun kualitas pertumbuhan ekonomi Morowali tampak luar biasa itu terlihat rendah.
Penurunan kemiskinan di Morowali relatif lamban dan menyebabkan masih banyak jumlah penduduk miskin di sana. Pada 2015, angka kemiskinan Morowali mencapai 15,8%, dan pada 2023 masih di kisaran 12,3%, jauh diatas rerata nasional yang hanya di kisaran 9,4%.
Pengalaman serupa terjadi di Konawe dan Halmahera Tengah. Hilirisasi nikel telah melonjakkan pangsa sektor industri pengolahan Konawe dari hanya 6% pada 2017 menjadi 39% pada 2022.
Rerata pertumbuhan ekonomi Konawe sepanjang 2018-2022 mencapai 9,4% per tahun. Namun angka kemiskinan Konawe tidak banyak berubah, dari 13,5% pada 2018 menjadi 13,0% pada 2023. Halmahera Tengah mengalami perubahan radikal hanya dalam 3 tahun pascahilirisasi menerjang.
Pangsa sektor industri pengolahan Halmahera Tengah melonjak drastis dari hanya 6% pada 2019 menjadi 60% pada 2022, dengan rerata pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020-2022 yang fantastis mencapai 98,7%.
Peran PDRB Halmahera Tengah dalam PDB nasional pun melonjak, dari 0,01% pada 2018 menjadi 0,11% pada 2022. Angka kemiskinan Halmahera Tengah turun namun masih tinggi, dari 14,1% pada 2019 menjadi 11,4% pada 2023.
Pengalaman lebih buruk terjadi di Halmahera Selatan. Hilirisasi nikel sejak 2017 telah mengubah wajah Halmahera Selatan yang pangsa sektor industri pengolahan melonjak drastis dari hanya 9% pada 2016 menjadi 48% pada 2022.
Rerata pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017-2022 menembus 16% per tahun. Namun angka kemiskinan Halmahera Selatan justru meningkat dari 4,1% pada 2017 menjadi 5,7% pada 2023.
“Pengalaman Halmahera Selatan semakin ironis karena sebelum era hilirisasi nikel, pertumbuhan ekonomi justru jauh lebih inklusif. Angka kemiskinan Halmahera Selatan turun secara konsisten dari 14,1% pada 2005 menjadi hanya 4,1% pada 2016,” jelas Yusuf.
Pengalaman empat daerah sentra hilirisasi nikel tersebut, lanjutnya, secara jelas menunjukkan rendahnya dampak hilirisasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Minimnya dampak kesejahteraan hilirisasi dapat ditelusuri dari dinamika pertumbuhan ekonomi tinggi daerah kaya nikel tersebut yang nyaris sepenuhnya berasal dari investasi swasta asing dan aktivitas ekspor impor oleh industri hilirisasi nikel.
Investasi besar dalam bentuk impor kapital dan teknologi, diikuti ekspor sepenuhnya hasil hilirisasi, membuat keterkaitan dan dampak hilirisasi terhadap perekonomian lokal menjadi sangat minim.
Yusuf mengatakan, daerah sentra hilirisasi nikel yang semula didominasi ekonomi rakyat berbasis pertanian tanaman pangan, holtikultura dan perikanan, kini secara drastis berubah menjadi dikuasai kapital raksasa global yang mengeksploitasi dan mengolah nikel untuk kemudian mengekspor hasilnya.
“Dengan keterlepasan hilirisasi dari sumber penghidupan utama masyarakat, tidak heran bila kemudian pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi akibat hilirisasi nikel, tidak memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Lompatan struktural daerah kaya nikel gagal menciptakan pembangunan inklusif, dan menjadi lebih terlihat sebagai penghisapan sumber daya lokal untuk kepentingan kapitalis global,” kata Yusuf.
Paradoks Bansos
Gagalnya pemerintahan era Jokowi menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif juga disebabkan oleh disorientasi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang didominasi oleh kebijakan bansos.
Dalam satu dekade terakhir, kebijakan bansos semakin mendominasi upaya penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah. Di masa pemerintahan Jokowi, kata Yusuf, muncul banyak paradoks seperti bansos yang semakin masif, namun angka kemiskinan tidak banyak berubah.
“Seolah tidak ada korelasi antara bansos dan kemiskinan. Ada dua penyebab utama dari fenomena ini,” kata dia.
Hal itu disebabkan karena desain bansos memang bukan untuk penanggulangan kemiskinan, namun sebagai bantuan darurat untuk menguatkan daya beli masyarakat miskin agar mampu memenuhi kebutuhan minimalnya, sehingga bansos semata tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kemiskinan.
Prinsip dasar bansos ialah kewajiban negara kepada warga negara yang tidak memiliki kemampuan mencukupi kebutuhan dasar mereka karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran.
Maka bansos semestinya merupakan bantuan darurat untuk masyarakat miskin, terutama kelompok marjinal seperti warga lansia dan penyandang disabilitas. Bansos adalah instrumen negara untuk melindungi warga negara yang lemah.
Dengan karakter seperti demikian, maka bansos memang akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat miskin. “Namun bansos tidak pernah akan meningkatkan kapasitas produktif masyarakat miskin. Bansos hanya obat pereda jangka pendek, tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan,” kata Yusuf.
Namun dia menilai bansos justru semakin diperluas dan di politisasi secara vulgar pada pemerintahan era Jokowi untuk kepentingan elektoral jangka pendek jelang pemilu. Politisasi bansos terlihat menguat signifikan di era Presiden Jokowi. Kepala negara diketahui aktif terlibat dalam penetapan kebijakan bansos, bahkan secara berlebihan terlibat dalam teknis seremonial pendistribusian bansos.
“Motivasi elektoral untuk politisasi bansos telah mendistorsi substansi dan arah besar kebijakan penanggulangan kemiskinan yang di era Presiden Jokowi menjadi terfokus pada bansos,” jelas Yusuf.
“Padahal penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat (UMKM) dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan terus memperbesar dan memperluas bansos,” tambahnya.
Menurut Yusuf, besaran bansos semestinya menyusut cakupannya seiring perbaikan kesejahteraan masyarakat, bukan justru semakin meluas ditengah perekonomian yang diklaim semakin baik.
Karena itu prinsip dasarnya bansos bersifat temporer dan akan dihentikan dan direalokasi ke penerima baru yang lain ketika penerima lama sudah tidak lagi membutuhkan, yaitu ketika kesejahteraan nya telah meningkat.
“Maka menjadi sebuah keanehan, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi namun cakupan bansos justru semakin besar dan luas secara sangat signifikan. PKH misalnya, hingga akhir periode Presiden SBY pada 2014 hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima. Namun hanya 4 tahun kemudian pada 2018, penerima PKH berlipat menjadi 10 juta keluarga penerima,” urai Yusuf.
Seiring perluasan bansos ini maka anggaran belanja bansos melonjak signifikan dari Rp49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp112,5 triliun pada 2019. Anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.
Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp146,5 triliun dan pada 2024 Rp152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp112,5 triliun pada 2019.
Selain itu, penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada dua kebijakan utama, yaitu pemberdayaan ekonomi rakyat (UMKM) dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas.
Fokus utama pemberdayaan ekonomi rakyat seharusnya adalah di sektor pertanian yang hingga kini masih menjadi tumpuan 28,4 juta rumah tangga pedesaan di seluruh Indonesia. Namun dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem justru bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja formal pemerintahan era Jokowi yang berkualitas semakin terbatas. Dalam dekade terakhir, industri padat karya kita semakin melemah daya saingnya.
Investasi yang mengalir masuk kini lebih banyak mengalir ke sektor ekstraktif seperti hilirisasi tambang yang padat modal dan minim menyerap tenaga kerja. Bila di 2013 setiap Rp1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 tenaga kerja, maka di 2022 setiap Rp1 triliun investasi hanya mampu menyerap 1.081 tenaga kerja.
“Secara singkat, penanggulangan kemiskinan pemerimtahan era Jokoei berjalan lambat karena lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat dan minimnya penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas,” jelas Yusuf.
Maka jumlah penerima bansos seperti PKH dan juga BPNT yang terus dipertahankan besar, dan jelang pilpres 2024 ditambah luas dengan bansos ad-hoc yaitu bansos beras, BLT el-nino dan kini BLT mitigasi resiko pangan, dinilai bukan indikasi tingginya komitmen penanggulangan kemiskinan, namun lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja. (Aji)