Sebaiknya pemerintah mengambil uang hanya untuk pembangunan Indonesia hijau hingga program beasiswa. Dengan begitu, hasilnya akan bisa dirasakan oleh generasi yang akan datang.
BELAKANGAN ini, rasio perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto/PDB (tax ratio) dalam tren menurun. Data Kemenkeu mengungkapkan tax ratio tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen di 2017. Lalu naik tipis ke 10,24 persen pada 2018. Sayangnya, pada 2019, tax ratio kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020.
Pada 2021 kembali naik ke posisi 9,11 persen. Kemudian naik lagi menjadi 10,4 persen pada 2022. Kenaikan pada 2021 dan 2022 itu seiring dengan kebijakan tax amnesty yang dilakukan pemerintah. Di tengah kondisi tax ratio seperti itu, pemerintah malah cenderung giat melakukan pembangunan, seperti ibu kota negara (IKN) hingga kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
“Biayanya dari mana? Dari daun? Akhirnya utang,” kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri. Masalahnya, yang bayar utang itu bukan rezim eksisting, melainkan generasi mendatang. Utang itu ada yang perjanjian bayarnya 10 tahun, 20 tahun, 40 tahun.
Karena itu, sebaiknya pemerintah tidak boleh sembarang bikin utang. “Makanya generasi sekarang harus mengingatkan. Utang itu bukan najis, tapi utang (sebaiknya) digunakan untuk kemaslahatan rakyat sekarang maupun yang akan datang,” imbuh Faisal. Ia pun mengingatkan sebaiknya pemerintah mengambil uang hanya untuk pembangunan Indonesia hijau hingga program beasiswa. Dengan begitu, hasilnya pun akan bisa dirasakan oleh generasi yang akan datang.
“Tapi kalau utang digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang, untuk Ibu Kota (Nusantara), ya gak meningkatkan kemampuan generasi yang akan datang itu,” tegas Faisal. Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia tembus US$404,9 miliar atau Rp6.228,57 triliun (kurs Rp15.383) pada Januari 2023.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono utang itu turun 1,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Ia menambahkan kontraksi itu dipengaruhi oleh perubahan akibat pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah.
ULN sebesar US$404,9 miliar itu, berasal dari dua sumber. Pertama, ULN pemerintah yang tercatat US$194,3 miliar. Menurut dia, utang tersebut mengalami kontraksi 2,5 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. “Perkembangan ULN (pemerintah) tersebut terutama didorong oleh peningkatan penempatan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan internasional seiring sentimen positif kepercayaan pelaku pasar global yang makin meningkat,” katanya dalam pernyataan resmi Selasa (14/3) lalu.
Kedua, ULN sektor swasta. Ia mengatakan berdasarkan data per Januari 2023, ULN swasta mencapai US$201,2 miliar. Utang itu mengalami kontraksi 1,5 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, industri pengolahan, pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, serta pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 77,6 persen.
Dalam pandangan Erwin, ULN Indonesia per Januari kemarin masih sehat. Itu bisa dilihat dari struktur ULN yang didominasi utang berjangka panjang. “Pangsanya mencapai 87,4 persen dari total ULN,” katanya. Selain itu, kesehatan utang katanya juga tercermin dari rasio ULN terhadap PDB yang tetap terjaga di kisaran 30,3 persen. “Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” katanya.●